Apakah laki-laki dan perempuan bisa bersahabat? Atau mungkin mereka akan jatuh cinta. Kemudian, kalau ada di antara mereka yang saling jatuh cinta, bagaimanakah hubungan persahabatan mereka?
Itu adalah pertanyaan yang sering aku renungkan dalam diri. Terlebih ketika sudah mulai dekat dan bersahabat dengan si Doi.
***
Mari kita sedikit me-review cerita sebelumnya; Awal Mula Kenal Istri. Pertemuan pertama terjadi ketika menjadi panita Buka Puasa Bersama, kemudian beberapa hari setelahnya kami kembali bertemu sebab menjadi panitia di Pesantren Ramadhan. Dan kini adalah cerita tentang Pertemuan Ketiga.
Aku tidak terlalu ingat bagaimana detail mulanya. Yang jelas, kami hendak menonton film yang baru saja rilis di bioskop. Rembulan Tenggelam di Wajahmu. Film itu merupakan adaptasi dari novel dengan judul yang sama, karya Bang Tere Liye.
Saat itu, di tahun 2019, kami sudah semester akhir di kampus. Maka, bebas saja mau main di hari apa, karena tidak ada kuliah lagi. Dan akhirnya, diputuskan di hari Jumat.
Oh yaa, aku belum menjelaskan siapa saja “Kami” yang dimaksud. Kami saat itu ada lima orang; Tiga laki-laki dan dua perempuan. Yang perempuan, sebut saja namanya Mbak dan Doi (yang kini jadi istri, hehe).
Kami para lelaki telah bersepakat untuk berkumpul di Masjid Cheng Hoo. Aku pernah membuat postingan tentang masjid ini (baca; Masjid Cheng Hoo). Sedangkan si Mbak dan si Doi, mereka datang dahulu ke mall untuk membeli tiket. Kemudian selepas kami shalat Jumat, menuju tempat makan. Jadi, makan siang dahulu, baru menonton film. Dan kami saat itu makan seblak di salah satu kafe di Jakabaring.
Ini fotonya. Oh yaa, baru ingat. Satu teman telat hadir. Jadi baru berempat saja makannya, hehe.
Satu hal yang aku masih ingat. Si Doi saat itu cukup histeris ketika ada kucing. Yaps, Doi takut kucing. Gumush sekali saat si Doi hendak menghindar dari kucing yang hendak mendekatinya.
Dan artinya, kami punya kesamaan. Sama-sama tidak suka kucing. Sudah ada kecocokan di awal! *Ge-er banget gue saat itu, wkkw.
Long story short, kami menonton film tersebut. Cukup kecewa dengan filmnya, karena tidak menyelesaikan cerita full seperti di buku. Hanya setengahnya saja. Di akhir film diberikan semacam iklan bahwa akan ada part dua nya. Namun sampai sekarang belum muncul juga lanjutan film Rembulan Tengelam di Wajahmu Part II. 😃
Formasi sudah full-team |
Seusai menonton dan sedikit berkeliling di mall. Tibalah waktunya untuk pulang.
Dan aku sebagai orang Jawa yang secara default suka berbasa-basi. Tanpa sadar bilang seperti ini, “Ayoo maen ke rumahku dulu aja, baru setelah itu kalian pulang!”
Harapanku saat itu adalah mereka akan menjawab seperti ini, “Gak usah Doo. Udah kesorean, lain kali aja!”
Nyatanya, tidak demikian. Si Doi saat itu menjawab, “Waah, boleh juga. Iya yaa, kita belum pernah ke rumah kamu!”
Aku saat itu kebingungan, mencari-cari alasan agar mereka tidak jadi datang ke rumah, wkwk. Bukan tanpa alasan, kalau ada yang hendak bertamu, harusnya aku mempersiapkan dahulu. Jikalau mendadak, bisa jadi rumah tidak siap. Apa yang harus aku suguhkan kepada mereka. Aku juga saat itu belum bilang ke mamakku.
Jadi, aku mencari-cari alasan, “Eh, nanti saja. Ini rumahku sedang kebanjiran. Kan habis hujan deres. Biasanya air masuk ke rumah..”
Aku berusaha sekuat tenaga menolak mereka yang hendak datang ke rumah. Dan salah satu teman faham kalau aku hendak menolak mereka datang, tapi dengan cara yang halus. “Yaudah nanti aja kita ke rumah Dodo. Besok-besok bisa. Lagipula sebentar lagi Maghrib, baiknya kita pulang ke rumah masing-masing saja.”
Si Doi masih ngotot, “Kapan lagi ke rumah Dodo. Mumpung ada kesempatan. Besok-besok belum tentu bisaa..”
Si Doi masih tidak mau mengalah. Aku izin sebentar untuk menelpon mamakku, apakah boleh kawan-kawanku ini datang.
Hasilnya? Sudah bisa ditebak.
Mamakku kaget, beliau bilang seharusnya kalau ada teman yang hendak datang bilang dari awal, jangan mendadak. Bingung kita mempersiapkannya. Tetapi aku kembali beragumen ke Mamak, bahwa teman-temanku ngotot pengen datang ke rumah (padahal cuma si Doi yang ngotot, wkwkw). Dan akhirnya mamak mengizinkan.
Kami kemudian berjalan ke arah rumahku. Jaraknya sekira sembilan kilometer. Dan ketika kami dalam perjalanan, itu waktunya sudah sangat mepet dengan waktu azan Maghrib. Jadi kami terpencar. Ada yang shalat di masjid lain, sedangkan aku sudah sampai duluan di rumah. Jadi, shalat di Langgar yang ada di depan rumah.
Mamak sangat ramah menyambut kedatangan mereka, terutama si Doi dan si Mbak. Mereka cepat akrab dengan Mamak. Beliau asyik ngobrol dengan dua kawan perempuanku itu. Gak tau deh apa yang ada di pikiran Mamak saat itu. Sebab aku jarang sekali membawa teman perempuan ke rumah (selain itu juga, aku memang punya teman perempuan yang sedikiiiiit sekali, wkwkw).
Oh yaa, jadi apa yang aku suguhkan kepada mereka?
Setelah shalat Maghrib aku bergegas ke depan gang, beli Model dan Tekwan di Mang Sidik. Kamu tahu kan? Model dan take one Tekwan adalah makanan khas Palembang. Bahannya mirip seperti pempek, terbuat dari campuran tepung sagu, gandum, dan daging ikan giling. Namun dia berkuah segar yang berasal dari kaldu udang.
Dan di kemudian hari, aku mengetahui bahwa si Doi cukup terkesima atas apa yang aku lakukan. Namun aku katakan, itu hal yang biasa. Bukankan bergegas menyediakan makanan bagi tamu adalah standar minimum bagi seorang muslim?
Sama halnya dengan ketika orang terkesima ada orang yang shalat berjama'ah di masjid di awal waktu. Padahal, itu standar minimum kita. Jadi, biasa aja. Gak ada yang spesial, hehe.
Balik ke cerita di rumahku. Kawan-kawanku akhirnya pulang menjelang pukul sembilan malam. Rencana awal adalah, setelah shalat Isya langsung pulang. Tapi, keasyikan ngobrol, jadi lupa waktu. Hahaha.
Oh yaa, si Doi juga saat itu bertanya, "Doo, katanya rumahmu banjir? Kok ini nggak?"
"Iya, biasanya saat hujan deras, air suka masuk. Alhamdulillah hari ini nggak," aku menjelaskan keadaan sebenarnya. Aku tidak berbohong.
Setelah pulang ke rumah masing-masing, obrolan kami berlanjut di grup WhatsApp yang sejak pagi telah dibuat. Tujuan awalnya sih hanya sekedar untuk kirim-kirim foto kita tadi sejak di tempat seblak hingga malam tadi.
Kami merasa diskusi kami nyambung satu sama lain, dan sering berdiskusi di grup tersebut. Ntah membahas perkembangan politik kampus, perseteruan elit politik nasional dan global, hingga hanya mengirimkan meme retjeh.
Dan kamu tahu apa nama grupnya? Simpel sih; Nasabah BSM. Sebab kami semua adalah nasabah dari bank tersebut, wkwwk.
Fyi, di kemudian hari nama grupnya diubah menjadi Nasabah BSI, karena BSM telah merger dengan BNIS dan BRIS menjadi BSI. :D
Jadi, inti dari cerita ini adalah apa? Kamu masih bingung?
Apakah terjawab pertanyaan kita di paragraf pertama?
Bersambung..
Sepuluh hari lagi insyaa Allah,
Akhirnya akan jumpa doi
yang perutnya udah mulai membulat 😁