"Joe, hari ini kamu kosong, ndak?"
"Hemm.. Ada hal apa, Aini?" kataku dari seberang telepon, sebut saja namanya Aini.
"Jadi gini, aku ada acara. Dapet undangan dari temenku. Kamu bisa temenin aku? Acaranya siang ini jam satu." Aini menjelaskan maksud dirinya menelponku.
Sejujurnya, di siang itu aku ada pekerjaan lain. Harus menyelesaikan desain untuk postingan di Instagram @temanwakaf. Namun, karena sedang malas untuk membuat desain, aku menyanggupi ajakan si Aini, "Hoo, oke bisa!" kataku dengan penuh semangat. "Sebenarnya itu acara apa, dan siapa temanmu yang mengundang ke acara itu, Aini?"
"Oke, kamu coba lihat pesan WhatsApp yang baru saja aku kirimkan."
Aku kemudian membaca dengan cepat isi undangan tersebut. Acara itu bertempat di salah satu restoran yang ada di Palembang.
Relationship Party
Dear Aini and partner..
Undangan ini khusus untuk kamu dan pasanganmu. Aku punya ide dan gagasan menarik. Mari kita berkolaborasi membuat suatu gerakan dan perubahan baru untuk kemajuan di kota kita.
Salam hangat,
Hamzah
Aku bertanya tanda tak faham, "Jadi, maksud acara Relationship Party ini apaan?"
"Aku juga tidak terlalu faham, mungkin temanku mau buat event atau komunitas atau bisnis baru kali. Aku ajak kamu sebab kamu kan punya bisnis yang sedang dikelola. Siapa tahu ada peluang baru atau bisa berkolaborasi dengan orang-orang di sana."
"Oh yaa, kamu benar juga Aini. Mungkin saja aku bertemu dengan orang yang bisa diajak mengembangkan Teman Wakaf yaa. Terus gimana?"
"Intinya, Hamzah meminta aku untuk datang ke Relationship Party dengan mengajak pasangan. Dan aku minta kamu seolah-olah jadi pacarku, Joe!"
"Haaahh!" aku terseru kaget.
"Iyaa, aku tidak mau kalau dipandang sebelah mata oleh teman-temanku nanti. Jadi, paling tidak aku dianggap udah punya pacar dong."
Aku bersungut-sungut tak percaya, sepenting itu kah mengajak seorang "pacar" ke acara itu. Padahal sebenarnya dia bisa datang sendiri. Tidak ada kewajiban mengajak pacar.
"Jangankan pura-pura menjadi pacarmu. Menjadi pacar yang asli, aku mau kok. Ehehe.." kataku sambil menggodanya.
"Apa? Enak aja, lu! Kan udah lama kita janji untuk tidak saling jatuh cinta. Kita kan selamanya tetap akan jadi bes-pren!" Aini berseru dalam percakapan telepon itu, seolah benar-benar tidak mau menjadi pacarku (?).
"Hahaa.. Ndak, lupakan." aku menyanggah jokes itu, padahal itu dari hati yang terdalam.
"Jadi, gimana? Bisa kan Joe? Pliss.. Nanti besok aku traktir deh."
"Emangnya sepenting apa kamu harus mengajak seorang "pacar" ke acara itu?"
"Joe, sebenarnya Hamzah, yang mengundang acara itu, adalah...."
"Siapa?"
"Dia mantanku, Joe!"
Telepon hening.
Pantas saja Aini ngebet untuk mengajakku agar seolah-olah jadi pacarnya. Seperti di sinetron saja, tidak mau terlihat buruk di depan mantan. Maka Aini "menyewa" aku untuk menjadi pacarnya. Aneh sekali.
"Kita bertemu dimana dan jam berapa?"
"Bagusnya dimana ya?"
"Gimana kalo kita ketemuan di masjid taman kota saja. Sekalian pura-pura hendak shalat Zhuhur di sana. Setelah itu, baru berangkat ke lokasi."
"Kenapa harus pura-pura shalat? Yaa kita shalat saja di sana, Kangg Mas Joeeee!"
Sambungan telepon telah berakhir, aku telah bersiap-siap untuk berangkat ke acara yang dimulai sekitar dua jam lagi.
Tak lama berselang, Aini kembali menghubungiku, kali ini melalui chat di WhatsApp.
"Joe, kamu pake baju apa? Biar aku bisa pilih baju yang senada denganmu untuk dipake ke acara nanti. Jangan dengan style yang biasa kamu kenakan. Baju kaus oblong plus jaket. Mana jaketnya adalah jaket organisasi kampus, ada logo Unsri lagi. Ga pantes untuk dipake ke acara itu."
"Waah, kamu nampaknya sudah sangat ma'rifat kepadaku yaa. Hahha. Aku beneran mau pake style seperti itu loh. Simpel. Kenapa ga boleh?" begitu balasanku terhadap chat dari Aini.
"Yaa, pokoknya jangan. Kamu jangan buat aku malu, Joe. Jangan pula malu-maluin. Arghhhgh."
"Kalo pake baju batik, boleh?"
"Kaku banget kek mau kondangan. Pake kemeja apa kek, kemeja yang lucu, ada?"
"Hoo, aku akan pake kemeja warna kuning dengan lengan panjang, kemudian pake celana bahan."
"Lah, itu style kayak kamu lagi kuliah. Itu mah kayak dosen. Aku tidak mau nanti dikira jalan sama bapac-bapac!"
Aku selalu salah di mata Aini. Tapi mungkin memang ada benarnya juga. Tidak hanya Aini yang berkata seperti itu, tetapi banyak teman yang bilang kalau style berpakaianku mirip Bapac dosen.
Aku kemudian masih di depan lemari pakaian, memilah dan memilih baju mana yang cocok aku kenakan. "Kalo kemeja yang ini gimana?" aku mengirimkan foto kemeja berlengan pendek yang berwarna abu-abu dengan sedikit tambahan aksen berwarna biru.
"Nah, cakep. Itu aja deh, semoga nanti pakaian kita cocok yaa." chat itu berakhir.
Aku tidak mau menjadi "pacar" yang buruk bagi Aini. Maka aku memilih pakaian yang terbaik.
Aku memilih celana termahal yang aku punya. Akhirnya aku putuskan menggunakan celana jins yang aku beli dua bulan lalu. Harganya dua ratus ribu rupiah, beli ketika ada diskon di Matahari yang awalnya seharga enam ratus ribu rupiah. Menarik, bukan. Wkwkkw.
Untuk alas kaki, awalnya aku hendak menggunakan sandal andalan yang sering aku pakai kemana-mana; sandal gunung. Namun, karena tidak mau membuat Aini kecewa dan malu, aku memilih menggunakan sepatu yang aku beli di marketplace saat event Reuni-212, eh bukan, flash sale 1212 maksudnya. Aku memakai sepatu seharga seratus lima puluh ribu rupiah (harga awal sebelum diskon adalah empat ratus ribu rupiah).
Skip skip...
Kami telah bertemu di masjid taman kota sesuai dengan kesepakatan. Aini ternyata menggunnakan baju yang berwarna sama denganku. Kami berdua sama-sama menggunakan pakaian dengan warna abu-abu. Dia mengenakan dari atas ke bawah, dari jilbab hingga rok dengan warna abu-abu. Aini tampak cantik sekali saat itu.
Kami sungguh sangat serasi. Seperti pasangan yang benar-benar hendak merencanakan pergi ke acara dengan warna pakaian yang kompak.
Lima belas menit kemudian, kami tiba di restoran yang dimaksud. Nampaknya, Hamzah adalah anak orang kaya sehingga mem-booking tempat seperti ini. Aku masih meraba-raba maksud dan tujuan Relationship Party hari ini.
Ternyata, di ruangan itu juga terputar lagu yang instrumen musiknya menurutku tidak asing. Setelah sepuluh detik berpikir, aku baru ingat. Lagu itu adalah lagu yang terdapat dari Drama Korea Start-Up. Dan aku juga baru ingat, Relationship Party adalah pesta yang Won (Seo) In Jae mengundang Seo Dal Mi, adiknya. Dan Seo Dal Mi mengajak Nam Do San dalam acara itu agar tidak diremehkan oleh kakaknya.
Apakah Seo Dal Mi adalah Aini, dan Nam Do San adalah aku? Entahlah..
Aku dan Aini telah duduk di meja yang telah tersedia. Selagi menunggu peserta lain yang belum datang, kami berbasa-basi dengan Hamzah.
"Hamzah, kenalin ini Joe. Dia.. ehm.. teman deketku." Aini memperkenalkanku sebagai "teman dekat" ke Hamzah si mantannya.
"Teman dekat?" Hamzah mendelik penasaran.
"Maksudnya kami sekarang pacaran!"
"Oh yaa, selamat yaa! Halo Joe. Salam kenal. Semoga setelah ini kita bisa berkolaborasi. Ngomong-ngomong, pakaian kalian cocok nih. Serasi."
Aku dan Aini hanya tersenyum. Hahaa.
Singkat cerita, pertemuan hari itu selesai. Tepat pukul setengah enam. Hamzah mengucapkan terima kasih telah datang.
Inti acara itu adalah, Hamzah sedang membuat bisnis baru, dia meminta masukan dan saran terhadap produknya. Dia juga mengajak apabila produknya telah launching, agar kami menjadi pelanggannya.
Hamzah selanjutnya mengantar kami sampai ke parkiran. Kali ini dia yang terkejut, "Kalian kenapa bawa motor sendiri-sendiri? Kenapa tidak berboncengan dengan satu motor saja? Kan kalian berpacaran!"
"Bukan mahram. Kami pacaran dengan sistem syariah, bro! Bukan yang konvensional. Haha," kataku sembarang.
***
Hari telah berganti, kali ini aku dan Aini telah berada di salah satu coffee shop yang ada di sudut kota. Aini berusaha menepati janjinya, namun kataku tidak usah repot-repot. Toh aku juga dapat manfaat dari acara kemarin. Bisa dapat teman baru, yang bisa jadi di masa depan menjadi relasi baru.
Karena aku sudah janji, maka harus ditepati, Joe! Katanya, kemarin dalam pesan di WhatsApp.
Pertemuan kami dimulai sebakda shalat Ashar, diakhiri menjelang waktu Maghrib. Hampir dua setengah jam duduk bercengkrama bersama. Tidak terasa, memang. Coba apabila waktu selama itu dipakai untuk kuliah, atau mennghadiri ceramah agama atau kajian kitab kuning. Pasti sangat melelahkan. Baru setengah jam saja, sudah mengantuk.
"Eh, Joe. Kalau aku boleh tebak, ini adalah pertama kali kamu nge-date dengan cewek, kan?"
"Haah? Maksudnya gimana?"
"Makan berdua sama cewek gini, aku pasti adalah orang pertama kan?"
Hening.
Aku berpikir sesaat.
"Kamu benar juga, Aini. Biasanya kita kalo ngumpul kan berlima. Haha."
Fyi, aku dan Aini punya geng persahabatan yang anggotanya lima orang. Tiga laki-laki dan dua perempuan.
"Astaga.."
"Kenapa, Aini?"
"Banyak cowok-cowok yang ketika aku ajak begini, mereka selalu bilang pertama kali "nge-date" nya pasti denganku. Kamu adalah cowok ke delapan, Joe."
"Hahaa, kamu telah merusak anak baik-baik sepertiku, Aini."
Aini tertawa, kemudian memukul tanganku seraya aku menikmati pukulan lembutnya.
"Aini, aku mau bilang sesuatu.." aku kembali memulai percakapan usai tragedi pemukulan.
"Yaa, ngomong aja Joe, ada apa?"
"Daripada kemarin aku jadi pacar bo'ongan, gimana kalo.. ehm, aku jadi pacarmu beneran?" aku berbicara dengan hati-hati.
Coba tebak apa responnya, Aini malah tertawa. "Haha, bisa aja kamu Joe."
"Hehe.." aku tertawa getir.
"Jadi gimana nih, diterima atau tidak? Ehehe.." aku masih mencoba berbicara dengan sangat hati-hati.
Aini tertawa lebih kencang, "Level jokes kamu hari ini sudah sangat meningkat, Joe! Keren banget. Lanjutkan!"
Aku di dalam hati bersungut-sungut kesal.
WOOY GUE INI BENERAN SERIUS. BUKAN LAGI NGELAWAK! -_-
Adzan Maghrib lima menit lagi berkumandang, kami bergegas pulang dari coffee shop. Aini menawariku untuk mampir sejenak ke rumahnya, sebab memang searah dengan jalanku pulang ke rumah. Aku awalnya menolak. Namun karena Aini terus memaksa, akhirnya luluh juga. Aku menebak-nebak, "permainan" seperti apa lagi yang hendak dia tawarkan di rumahnya.
Setelah shalat Maghrib di masjid dekat rumah Aini, aku kini disuguhkan minuman dan makanan ringan di rumahnya. Kembali sedikit berbincang, namun kini ada ibunya di sana.
"Buuk, ini si Joe. Temenku kuliah," kata Aini kepada ibunya. "Sudah berapa banyak teman cowokku yang aku ajak ke rumah yaa, buuk?"
"Waah kalo itu, sudah banyak sekali." ibunya menjawab sekenanya saja.
Aku mengerti arah pembicaraan itu. Itu sama saja dengan.. Heyy, Joe. Kamu tidak spesial kok. Biasa saja, jadi jangan ngarep!
Malam yang gelap kembali datang, dingin kembali menyelinap. Seorang Joe masih sama seperti malam-malam sebelumnya. Ia kembali gagal untuk memulai hubungan yang agak "serius".
Seorang Kangg Mas Joe, sampai hari ini tetaplah menjadi Kangg Mas Joe-mblo!