Jadi Kita Sekarang Gimana? (4)
Pertanyaan ini ditanyakan daripada dia kepada sang suami, dalam kamar hotel berbintang tiga di kawasan Penang, Malaysia. Hari ini mereka tengah liburan ke luar negeri kerana merupakan momentum ulang tahun pernikahan mereka yang pertama.
Malam itu, dalam suasana yang sejuk. Mereka kembali bertengkar.
"Mas, kita sudah satu tahun menikah. Namun, sampai saat ini aku masih gadis. Kau belum pernah satu kali pun ber-silaturahmi kepadaku. Setiap kita hendak melakukan silaturahmi itu, selalu saja gagal. Kau selalu menggigil."
Suaminya hanya merespon pelan.
Suaminya hanya merespon pelan.
"Maafkan aku."
"Tidak bisakah kamu jujur kepadaku, mas? Jika memang ada masalah, penyakit, dan sesuatu. Mari kita diskusikan. Boleh jadi, masalahnya akan terselesaikan. Aku sangat lelah menunggu nafkah bathin darimu, mas!"
Si dia kembali mencecar suaminya yang masih nampak diam saja.
"Kalau aku jujur, kamu janji ya. Jangan marah."
"Kalau aku jujur, kamu janji ya. Jangan marah."
Suaminya berusaha memjelaskan akar masalah dirinya.
"Cepetan, cerita aja mas!"
"Cepetan, cerita aja mas!"
Si dia merespon seadanya.
"Tapi, kamu janji, ya?"
"Tapi, kamu janji, ya?"
Suaminya memastikan.
Si dia sudah nampak kesal.
Si dia sudah nampak kesal.
"Udah, buruan mas."
Episode sebelumnya;
"Kamu tahu, kan. Aku lulusan Inggris. Di sana, orang-orang banyak yang liberal dan sekuler. Tidak mementingkan agama lagi. Aku, ehm, terikut arus pergaulan bebas kehidupan sana."
Suaminya mulai berterus terang.
"Well, I am a gay. Aku seorang homoseksual. Aku masih menjalin hubungan dengan kekasihku, warga negara Inggris, ia seorang laki-laki. Kami juga sudah pernah melakukan hubungan seksual."
"Well, I am a gay. Aku seorang homoseksual. Aku masih menjalin hubungan dengan kekasihku, warga negara Inggris, ia seorang laki-laki. Kami juga sudah pernah melakukan hubungan seksual."
Suaminya melanjutkan, mejelaskan secara gamblang.
"Astaghfirullahal 'azhiim. Tidakkah kau sadar, mas. Itu adalah perbuatan yang sangat terkutuk. Bukankah kau tidak ingat, ayahmu seorang ustadz. Kenapa anaknya jadi seperti ini!"
Si dia sangat terkejut dengan pengakuan suaminya.
"Aku bisa saja melakukan hal itu ke dirimu."
"Aku bisa saja melakukan hal itu ke dirimu."
Suaminya berkata. Seraya melanjutkan,
"Namun, aku masih menghargai dirimu. Aku tidak mau, jika suatu saat, kamu terkena penyakit macam-macam dari aku."
"Penyakit apa maksudmu?"
"Namun, aku masih menghargai dirimu. Aku tidak mau, jika suatu saat, kamu terkena penyakit macam-macam dari aku."
"Penyakit apa maksudmu?"
Si dia meminta penjelasan lebih lanjut.
"Yaa, orang-orang liberal, sekuler dan LGBT, bisa saja melakukan hubungan seksual dengan siapapun. Kita tidak tahu, apakah dia pernah melakukan hubungan itu kepada orang yang terkena penyakit HIV, misalnya. Aku juga sudah pernah melakukan hubungan itu dengan tiga orang lain lagi. Satu warga Perancis, dua lagi orang Belanda. Mereka semua laki-laki."
"Yaa, orang-orang liberal, sekuler dan LGBT, bisa saja melakukan hubungan seksual dengan siapapun. Kita tidak tahu, apakah dia pernah melakukan hubungan itu kepada orang yang terkena penyakit HIV, misalnya. Aku juga sudah pernah melakukan hubungan itu dengan tiga orang lain lagi. Satu warga Perancis, dua lagi orang Belanda. Mereka semua laki-laki."
Lagi-lagi, suaminya menjelaskan dengan sangat jelas dan tajam. Setajam silet.
"Jadi, apakah kau masih menjalin hubungan dengan pacar laki-lakimu itu?"
"Yaa, masih. Hampir setiap hari kami saling mengirim chat. Tunggu, lihatlah ponselku. Beberapa menit yang lalu, orang Inggris itu baru saja menelponku."
"Yaa, masih. Hampir setiap hari kami saling mengirim chat. Tunggu, lihatlah ponselku. Beberapa menit yang lalu, orang Inggris itu baru saja menelponku."
"Kalau kau memang begini, kenapa mau menikah denganku?"
"Aku tidak enak dengan ayahku. Dia telah mencarikan jodoh, dan ayahku adalah teman abi-mu kan? Aku merasa tidak enak dengan keluargamu jika perjodohan ini dibatalkan di tengah jalan."
"Merasa tidak enak? Kemana pikiran kau? Kalau begini ceritanya, kau telah mempermainkan keluarga kami, telah menyiksaku selama satu tahun dengan tidak pernah memberi nafkah bathin. Aku benci kamu!"
"Jadi, apa maumu sekarang? Kamu mau ber-silaturahmi denganku sekarang? Oke, aku siap. Aku akan memberikan nafkah bathin kepadamu saat ini juga!"
Suaminya berkata seraya melepaskan celananya.
Plak! Tangan dia telah tiba di wajah suaminya. Tamparan itu sesungguhnya tidaklah menyakitkan, namun mengejutkan.
"Ceraikan aku sekarang!"
"Bisakah kita bicarakan baik-baik lagi? Beri aku kesempatan satu kali lagi."
"Bisakah kita bicarakan baik-baik lagi? Beri aku kesempatan satu kali lagi."
Suaminya memohon.
"Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Semuanya sudah jelas, aku tidak bisa menerima kau!"
Si dia tetap teguh pendiriannya.
"Tapi sekarang sudah malam. Bagaimana jika esok pagi saja. Mungkin suasana hati kita bisa menjadi lebih sejuk."
"Tapi sekarang sudah malam. Bagaimana jika esok pagi saja. Mungkin suasana hati kita bisa menjadi lebih sejuk."
Suaminya masih membujuk, hendak mengulur waktu.
"Tidak mau, pokoknya sekarang!"
"Tidak mau, pokoknya sekarang!"
"Baik, namun aku minta dengan satu syarat."
"Tanpa syarat!"
"Ayoolah, kenapa kamu menjadi sangat tidak menghargaiku sekarang. Padahal aku sangat menghargaimu."
"Cepat katakan apa syarat yang kau inginkan!"
"Izinkan aku mengecup bibirmu untuk terakhir kali, tanda perpisahan kita. Setelah itu, kamu boleh pergi. Kita resmi bercerai."
"Baiklah."
"Tanpa syarat!"
"Ayoolah, kenapa kamu menjadi sangat tidak menghargaiku sekarang. Padahal aku sangat menghargaimu."
"Cepat katakan apa syarat yang kau inginkan!"
"Izinkan aku mengecup bibirmu untuk terakhir kali, tanda perpisahan kita. Setelah itu, kamu boleh pergi. Kita resmi bercerai."
"Baiklah."
Suaminya mendekat ke wajahnya, sedangkan dia telah memejamkan matanya tanda bersiap.
Namun, ternyata kecupan terakhir itu diurungkan suaminya.
"Aku tidak kuasa untuk mengecupmu. Apabila perkataan ini berakhir, telah jatuh talak satu kepadamu. Kamu boleh pergi sekarang."
"Terimakasih, Assalamu'alaykum."
Status janda kini telah resmi melekat pada dia. Tiga detik kemudian, dia meninggalkan kamar hotel itu.
Kamar itu kini hening.
Kemudian, dia menuju meja resepsionis. Hendak memesan kamar baru untuk dirinya sendiri. Ketika telah mendapatkan kamar, dia menangis sejadi-jadinya. Seharusnya hari ini adalah sangat bahagia, karena tepat satu tahun pernikahan mereka, malah menjadi hari yang hancur lebur.
Di pagi hari, dia langsung menuju Bandara untuk kemudian terbang kembali pulang ke rumah orang tuanya. Menemui Abi dan Ummi.
Ketika sampai di rumah, betapa terkejutnya mereka. Anaknya hanya pulang seorang diri, tanpa ditemani sang suami.
"Kenapa cepat sekali pulang, nduk? Bukannya kalian liburan selama sepuluh hari di Malaysia?"
Abi bertanya penasaran.
"Satu lagi, mana suamimu? Kenapa pulang sendiri?"
"Satu lagi, mana suamimu? Kenapa pulang sendiri?"
Ummi juga tidak mau kalah, ikut bertanya.
"Kami sudah bercerai, Ummi."
Si dia menjawab pertanyaan orang tuanya.
"Jangan main-main kamu, nduk."
"Jangan main-main kamu, nduk."
Abi mengonfirmasi ulang, tanda tak percaya.
"Benar, Abi. Sejak kapan aku pernah berbohong. Tidak pernah sekalipun sejak kecil."
"Benar, Abi. Sejak kapan aku pernah berbohong. Tidak pernah sekalipun sejak kecil."
Air matanya kali ini benar-benar tumpah di depan orang tuanya. Sungguh berat cobaan yang diderita.
"Yasudah, istirahatlah dulu di kamarmu. Pasti lelah sekali."
"Yasudah, istirahatlah dulu di kamarmu. Pasti lelah sekali."
Baca juga dong;
Kita kembali ke cerita Aku.
Aku sudah move on dari si dia. Aku sangat giat dalam bekerja, telah naik pangkat menjadi manager area. Normalnya jabatan itu bisa diraih dalam waktu lima tahun. Sedangkan aku, dapat mencapainya hanya dalam waktu dua tahun sahaja.
Aku juga telah sangat rajin mengaji ke Ustadz Salim sepekan sekali. Aku juga sudah tidak memiliki sahabat a.k.a. friendzone. Aku hanya berteman kepada laki-laki saja.
Suatu saat seusai pengajian, Ustadz Salim memintaku menemuinya secara pribadi.
"Ada apa, tadz?"
Aku bertanya dengan penuh hormat.
"Kamu sudah dua tahun bekerja, posisi sudah bagus. Sudah ada keinginan untuk menikah?"
Tanpa basa-basi, ustadz langsung menyambarku dengan pertanyaan itu.
"Hehehe, iya tadz."
Aku sudah move on dari si dia. Aku sangat giat dalam bekerja, telah naik pangkat menjadi manager area. Normalnya jabatan itu bisa diraih dalam waktu lima tahun. Sedangkan aku, dapat mencapainya hanya dalam waktu dua tahun sahaja.
Aku juga telah sangat rajin mengaji ke Ustadz Salim sepekan sekali. Aku juga sudah tidak memiliki sahabat a.k.a. friendzone. Aku hanya berteman kepada laki-laki saja.
Suatu saat seusai pengajian, Ustadz Salim memintaku menemuinya secara pribadi.
"Ada apa, tadz?"
Aku bertanya dengan penuh hormat.
"Kamu sudah dua tahun bekerja, posisi sudah bagus. Sudah ada keinginan untuk menikah?"
Tanpa basa-basi, ustadz langsung menyambarku dengan pertanyaan itu.
"Hehehe, iya tadz."
"Siap ya, silahkan kabari orang tuamu. Jika kamu memang siap, nanti kamu akan saya coba jodohkan dengan murid istriku."
"Baik, terima kasih banyak, tadz."
Singkat cerita, perjodohan itu benar-benar terjadi. Proses ta'aruf telah dilakukan. Nama gadis itu adalah Juminten,
Juminten merupakan seorang guru, mengajar di SD IT yang ada di kota tempatku bekerja. Kamu tahu SD IT, kan? Sekolah Dasar Islam Termahal Terpadu. Sorry to say, SD IT memang terkenal dengan biaya yang cukup mahal dibanding SD Negeri yang gratis.
***
Setalah proses yang cukup panjang, akhirnya kami fiks hendak menikah. Tanggal telah ditentukan, pekan ketiga di bulan depan. Aku telah berisap menyebar undangan ke teman-teman, kebanyakan melalui online. Menghemat biaya percetakan.
Aku mulai mengirim ke grup organisasi kampus yang dulu aku ikuti (bersama dia). Grup yang awalnya sepi sekali, mendadak heboh. Aku juga mengirim undangan melalui pesan pribadi ke beberapa teman. Salah satunya adalah... dia.
Aku melihat di layar ponselku. Riwayat chat terakhir kami sudah tiga tahun yang lalu.
Lucu, yaa. Terakhir isi chat dari dia adalah, undangan pernikahannya. Menanyakan apakah aku bisa hadir atau tidak. Berakhir dengan centang biru. Chat saat itu tidak ku balas. Kini, aku hendak memberinya undangan. Aku tidak tahu, apakah chat itu akan dibalas atau tidak.
Klik.
Aku mulai mengirim ke grup organisasi kampus yang dulu aku ikuti (bersama dia). Grup yang awalnya sepi sekali, mendadak heboh. Aku juga mengirim undangan melalui pesan pribadi ke beberapa teman. Salah satunya adalah... dia.
Aku melihat di layar ponselku. Riwayat chat terakhir kami sudah tiga tahun yang lalu.
Lucu, yaa. Terakhir isi chat dari dia adalah, undangan pernikahannya. Menanyakan apakah aku bisa hadir atau tidak. Berakhir dengan centang biru. Chat saat itu tidak ku balas. Kini, aku hendak memberinya undangan. Aku tidak tahu, apakah chat itu akan dibalas atau tidak.
Klik.
Chat itu telah terkirim. Awalnya hanya centang satu, beberapa detik kemudian berubah menjadi centang dua abu-abu. Dua detik setelah itu,informasi dari layar ponsel mengabarkan dia sedang online. Centang abu-abu berubah menjadi biru. Sepuluh detik kemudian, dia kembali offline.
Baiklah, pesanku hanya di-read saja.
Orang tuaku kemudian telah berada di Jawa, satu hari sebelum hari pernikahanku. Aku sungguh bahagia saat itu, namun tragedi yang tak terduga terjadi.
Di sore hari, aku mendapat telepon dari orang tuanya Juminten, yang tidak kuliah di Washington. Telepon itu sungguh mengejutkanku. Katanya, Juminten baru saja kecelakaan tertabrak bus kota. Aku terbelalak tanda tak percaya. Juminten kini telah dilarikan ke rumah sakit terdekat.
"Tadi siang, Juminten ke sekolah. Katanya, dia ditelepon oleh Kepala Sekolah sebab ada orang tua siswa yang protes. Juminten beberapa hari yang lalu memarahi anaknya, dan orang tua itu protes tanda tidak terima. Untuk meluruskan kejadian yang sebenarnya, maka ia harus datang ke sekolah."
Bapaknya Juminten menjelaskan dalam sambungan telepon.
"Tapi, pak. Apakah tidak bisa ditunda dahulu? Apakah segenting itu, bukankah besok adalah hari yang sangat sakral. Harusnya Juminten tidak pergi kemana-mana."
Aku hanya merespon tanda menyesali perbuatan Juminten.
"Betul sekali, nak mas. Bapak sudah melarangnya untuk keluar. Bapak bilang nanti saja, namun dia tetap kekeuh mau ke sekolah. Katanya, dia tidak mau nama sekolah menjadi jelek gara-gara dia. Namun ternyata, ketika pulang dari sekolah. Juminten malah ditabrak. Kecelakaan. Informasi yang diterima, kata Polisi, ia mengantuk. Tertidur di atas motor."
Baiklah, pesanku hanya di-read saja.
Orang tuaku kemudian telah berada di Jawa, satu hari sebelum hari pernikahanku. Aku sungguh bahagia saat itu, namun tragedi yang tak terduga terjadi.
Di sore hari, aku mendapat telepon dari orang tuanya Juminten, yang tidak kuliah di Washington. Telepon itu sungguh mengejutkanku. Katanya, Juminten baru saja kecelakaan tertabrak bus kota. Aku terbelalak tanda tak percaya. Juminten kini telah dilarikan ke rumah sakit terdekat.
"Tadi siang, Juminten ke sekolah. Katanya, dia ditelepon oleh Kepala Sekolah sebab ada orang tua siswa yang protes. Juminten beberapa hari yang lalu memarahi anaknya, dan orang tua itu protes tanda tidak terima. Untuk meluruskan kejadian yang sebenarnya, maka ia harus datang ke sekolah."
Bapaknya Juminten menjelaskan dalam sambungan telepon.
"Tapi, pak. Apakah tidak bisa ditunda dahulu? Apakah segenting itu, bukankah besok adalah hari yang sangat sakral. Harusnya Juminten tidak pergi kemana-mana."
Aku hanya merespon tanda menyesali perbuatan Juminten.
"Betul sekali, nak mas. Bapak sudah melarangnya untuk keluar. Bapak bilang nanti saja, namun dia tetap kekeuh mau ke sekolah. Katanya, dia tidak mau nama sekolah menjadi jelek gara-gara dia. Namun ternyata, ketika pulang dari sekolah. Juminten malah ditabrak. Kecelakaan. Informasi yang diterima, kata Polisi, ia mengantuk. Tertidur di atas motor."
Begitu kata bapaknya.
Aku hanya menghela napas.
Ketika aku akhirnya sampai ke rumah sakit, ternyata Juminten tidak dapat tertolong. Nyawanya telah melayang. Telah terbang bersama Malaikat yang menjemputnya, dibawa ke langit.
Hari bahagia yang harusnya tamu berdatangan mengucapkan selamat suka cita. Malah menjadi tamu takziyah, tanda duka.
Aku hanya menghela napas.
Ketika aku akhirnya sampai ke rumah sakit, ternyata Juminten tidak dapat tertolong. Nyawanya telah melayang. Telah terbang bersama Malaikat yang menjemputnya, dibawa ke langit.
Hari bahagia yang harusnya tamu berdatangan mengucapkan selamat suka cita. Malah menjadi tamu takziyah, tanda duka.
Pesan duka cita, silih berganti masuk ke ponselku. Aku tidak dapat membalas satu persatu.
Hari pemakaman usai. Aku masih menjadi jomlo. Aku menjadi sangat depresi hari itu. Impian menuntaskan separuh agama, sudah kandas.
Untuk mengekspresikan bahwa aku sedang depresi, aku memutuskan untuk mogok makan selama satu pekan. Awalnya, lancar-lancar saja. Usai shalat Shubuh, aku tidak makan. tapi lama-lama, lapar juga. Akhirnya pukul sepuluh pagi aku urungkan niat bodoh itu. Aku tidak jadi mogok makan.
Depresi tetap berlanjut. Aku tidak mau kalau bayangan Juminten masih menghantui. Maka, aku putuskan untuk kembali ke Sumatera. Aku resign dari pekerjaan di Pulau Jawa. Banyak rekan kerja yang kecewa atas keputusanku ini.
Sebelum pulang ke kampung halaman, tak lupa aku berpamitan dengan Ustadz Salim.
"Tetap semangat, akhi. Hal ini sudah menjadi takdir dari Allah."
Ujar sang ustadz.
"Iya, ustadz. Saya pamit yaa, mau pulang ke Sumatera. Tabunganku juga sudah cukup banyak, saya mau membuka bisnis saja di sana."
"Semoga bisnismu nanti berkembang. Oh ya, nanti kalau sudah pulang. Kamu jangan lupa. Tetap harus ngaji."
"Ngaji sama siapa, tadz? Ustadz Ahmad lagi?"
"Tidak usah. Kamu kan sudah pernah ngaji sama beliau. Nanti ngaji sama ustadz lain saja. Biar memperluas jaringan. Nanti saya carikan, dan akan dikirim kontaknya."
"Syukran, tadz."
Aku akhirnya resmi meninggalkan tanah Jawa, memulai kembali menata kehidupan baru.
***
Aku telah sampai di kampung halaman, Ustadz Salim juga telah memberi kontak guru ngaji baruku. Namanya, Ustadz Idrus. Aku sangat bersemangat, langsung menghubungi beliau.
"Kamu nanti datang saja ke rumah, hari Rabu setelah shalat Isya. Lokasinya sesuai yang ada di aplikasi ya kaak."
Begitu kata Ustadz Idrus dalam panggilan telepon. Mirip kang Ojol.
Di hari Rabu malam, aku datang lebih cepat. Sebelum Isya. Betapa terkejutnya ketika aku tiba di rumah Ustadz Idrus. Maps yang diberikan Ustadz Idrus, ternyata adalah rumah si dia. Aku masuk ke ruang tamu. Di dinding, foto dia terpajang dengan rapi, nampaknya itu ketika wisuda beberapa tahun lalu.
Aku baru ingat, Ustadz Idrus adalah Abi-nya si dia.
Pertemuan pertama pengajian malam itu dimulai dengan perkenalan diriku kepada jama'ah lain. Di akhir pengajian, aku bilang ke beliau bahwa aku teman kuliah anaknya. Ustadz Idrus bilang, ia sudah tahu. Aku diam saja.
Aku terus datang ke rumahnya setiap pekan untuk menimba ilmu agama. Waktu terus berjalan, sudah tiga tahun aku menjadi murid beliau.
Namun ada yang aneh, aku sekalipun tidak pernah melihat si dia di rumah itu. Awalnya aku hendak bertanya, namun ku rasa itu tidak sopan. Apa kepentinganku bertanya dimana keberadaan istri orang (saat itu, aku tidak tahu bahwa dia telah bercerai).
Hingga suatu saat, aku rasa sudah move on dari dia dan Juminten. Aku berniat untuk hendak menikah (lagi). Setelah sebelumnya gagal.
Maka aku datang ke rumah ustadz Idrus untuk meminta tolong, membantu menuntaskan hajatku.
Saat itu, aku datang di pagi hari, tidak seperti biasa. Aku datang di Shubuh hari, sekaligus untuk mengikuti taklim yang diajar oleh Ustadz Idrus kepada warga sekitar. Beliau mengajar di masjid yang tidak jauh dari rumahnya.
Sesuai taklim selesai, aku langsung menemuinya. Beliau bilang, ke rumah saja. Biar lebih nyaman berbincangnya.
Aku dan Ustadz Idrus berjalan kaki menuju rumahnya. Ketika sampai di rumah beliau, aku betul terkejut. Akhirnya aku bertemu si dia setelah sekian lama. Saat itu, tatap mata kami beradu dua detik. Masing-masing dari kami langsung menundukkan pandangan.
"Heyy, apa kabar. Lama tidak jumpa ya?"
Aku mulai menyapanya, dengan sedikit gugup.
"Eh, iya. Baik Doo. Iya, ya. Sudah lama sekali kita tidak berjumpa."
Si dia juga nampaknya gugup.
"Mana suamimu? Di masjid juga kenapa tidak terlihat tadi yaa."
Aku bertanya dengan polos. Sekali lagi, aku tidak tahu bahwa mereka telah bercerai.
Ustadz Idrus berdehem.
"Nanti saja di dalam lanjutkan obrolan kalian. Ayo sekarang masuk dulu."
"Eh, iya tadz."
Aku menggaruk kepala yang tidak gatal.
Sampai di dalam, aku disajikan sarapan. Si dia yang membawa makanan-makanan itu ke ruang tamu.
Aku tanpa basa-basi, langsung mengutarakan maksudku ke sini. Aku meminta beliau mencarikanku istri.
"Kamu mau mencari calon istri yang seperti apa?"
Ustadz Idrus merespon permintaanku.
"Terserah ustadz bagaimana, yang kira-kira cocok sama saya saja. Barangkali ada murid-murid dari pengajian ini, atau murid dari istri ustadz yang sudah siap menikah. Saya tsiqoh tadz. Saya percaya kalau seorang guru pasti akan memberikan yang terbaik untuk muridnya."
Aku menjawab takzim, urusan calon istri aku serahkan saja kepada guruku. Aku tidak mau mencari kriteria macam-macam. Yang penting satu, perempuan itu mau sama aku. WKwkwk.
"Sebelum aku menjawab, mau kah kamu mendengar suatu kisah?"
"Tentu saja, tadz. Dengan senang hati."
"Ini kisah nyata. Ada seorang perempuan, dia seorang yang shalihah. Sangat taat pada agama dan orang tuanya. Perempuan itu kemudian menikah. Namun di tengah jalan, pernikahan dengan suaminya bubar. Suaminya ternyata memiliki penyimpangan seksual yang tidak wajar. Mereka bercerai. Perempuan itu sekalipun belum pernah disentuh suaminya. Perempuan itu kini telah menjadi janda, namun sejatinya masih tetap seorang gadis."
Ustadz Idrus menjelaskan ceritanya.
Beliau kemudian melanjutkan.
"Pertanyaan saya, apakah kamu mau menikah dengan perempuan itu?"
Aku menjawab dengan mantap.
"Apabila ustadz menjamin, saya sekali lagi menjawab, saya tsiqoh apapun keputusan ustadz."
"Jadi, kamu betul bersedia jika saya jodohkan dengan perempuan itu?"
"Insyaa Allah saya siap, ustadz."
"Alhamdulillah."
Ustadz Idrus menjawab dengan lega.
"Mohon maaf sebelumnya, jika boleh tahu. Siapa nama perempuan itu, dan tinggal dimana dia tadz?"
Aku bertanya demikian karena berhak tahu, siapa calon istri yang dijanjikan oleh sang Ustadz.
"Perempuan itu asli dari kota ini. Dari sekolah dasar hingga kuliah juga di sini. Dia adalah... anakku."
Aku sangat terkejut mendengar perkataan Ustadz Idrus.
"Haa, bukankan dia sudah menikah beberapa tahun lalu tadz?"
"Benar, putriku memang sudah menikah. Namun kemudian telah bercerai dengan alasan yang telah aku ceritakan kepadamu tadi. Sekarang aku ulang lagi pertanyaannya, apakah kamu bersedia aku nikahkan dengan putriku atau tidak? Aku lihat, dari semua murid-murid pengajianku. Hanya engkaulah yang cocok untuk mendampinginya."
Bibirku bergetar, tanda gugup. Aku kemudian berkata siap menerimanya dan mengucapkan terima kasih banyak.
Si dia yang berada di dalam kamarnya, mendengar sayup-sayup perbincangan aku dan Abi-nya. Ternyata, dia juga sangat senang sekali.
***
Kedua orang tuaku kemudian bersilaturahmi (bukan ber-silaturahmi seperi di awal cerita, yaa wkwkwk) ke rumah Ustadz Idrus yang sebentar lagi akan aku panggil Abi. Satu bulan kemudian, pernikahan benar-benar terjadi. Grup WhatsApp alumni organisasi yang kami ikuti kembali heboh.
Akhirnya, kalian benar-benar menuntaskan hubungan terlarang kalian menjadi hubungan legal yang tidak terlarang.
Aku hanya tertawa mendengan peryataan ini.
Aku kini telah resmi menikah, si dia telah menjadi istriku. Ustadz Idrus kini aku panggil menjadi Abi, beliau adalah mertuaku.
Judul cerita ini berubah menjadi layaknya FTV di Indo*siar;
Guru Mengajiku ternyata adalah Mertuaku.
Selesai..
Sebagian cerita berdasarkan kisah nyata.
Sebagian lagi terinspirasi dari novel Ketika Cinta Bertasbih, karya Ustadz Habiburrahman el Shirazy alias Kang Abik.
Sebagian lagi hanya khayalan belaka! :)
Hari pemakaman usai. Aku masih menjadi jomlo. Aku menjadi sangat depresi hari itu. Impian menuntaskan separuh agama, sudah kandas.
Untuk mengekspresikan bahwa aku sedang depresi, aku memutuskan untuk mogok makan selama satu pekan. Awalnya, lancar-lancar saja. Usai shalat Shubuh, aku tidak makan. tapi lama-lama, lapar juga. Akhirnya pukul sepuluh pagi aku urungkan niat bodoh itu. Aku tidak jadi mogok makan.
Depresi tetap berlanjut. Aku tidak mau kalau bayangan Juminten masih menghantui. Maka, aku putuskan untuk kembali ke Sumatera. Aku resign dari pekerjaan di Pulau Jawa. Banyak rekan kerja yang kecewa atas keputusanku ini.
Sebelum pulang ke kampung halaman, tak lupa aku berpamitan dengan Ustadz Salim.
"Tetap semangat, akhi. Hal ini sudah menjadi takdir dari Allah."
Ujar sang ustadz.
"Iya, ustadz. Saya pamit yaa, mau pulang ke Sumatera. Tabunganku juga sudah cukup banyak, saya mau membuka bisnis saja di sana."
"Semoga bisnismu nanti berkembang. Oh ya, nanti kalau sudah pulang. Kamu jangan lupa. Tetap harus ngaji."
"Ngaji sama siapa, tadz? Ustadz Ahmad lagi?"
"Tidak usah. Kamu kan sudah pernah ngaji sama beliau. Nanti ngaji sama ustadz lain saja. Biar memperluas jaringan. Nanti saya carikan, dan akan dikirim kontaknya."
"Syukran, tadz."
Aku akhirnya resmi meninggalkan tanah Jawa, memulai kembali menata kehidupan baru.
***
Aku telah sampai di kampung halaman, Ustadz Salim juga telah memberi kontak guru ngaji baruku. Namanya, Ustadz Idrus. Aku sangat bersemangat, langsung menghubungi beliau.
"Kamu nanti datang saja ke rumah, hari Rabu setelah shalat Isya. Lokasinya sesuai yang ada di aplikasi ya kaak."
Begitu kata Ustadz Idrus dalam panggilan telepon. Mirip kang Ojol.
Di hari Rabu malam, aku datang lebih cepat. Sebelum Isya. Betapa terkejutnya ketika aku tiba di rumah Ustadz Idrus. Maps yang diberikan Ustadz Idrus, ternyata adalah rumah si dia. Aku masuk ke ruang tamu. Di dinding, foto dia terpajang dengan rapi, nampaknya itu ketika wisuda beberapa tahun lalu.
Aku baru ingat, Ustadz Idrus adalah Abi-nya si dia.
Pertemuan pertama pengajian malam itu dimulai dengan perkenalan diriku kepada jama'ah lain. Di akhir pengajian, aku bilang ke beliau bahwa aku teman kuliah anaknya. Ustadz Idrus bilang, ia sudah tahu. Aku diam saja.
Aku terus datang ke rumahnya setiap pekan untuk menimba ilmu agama. Waktu terus berjalan, sudah tiga tahun aku menjadi murid beliau.
Namun ada yang aneh, aku sekalipun tidak pernah melihat si dia di rumah itu. Awalnya aku hendak bertanya, namun ku rasa itu tidak sopan. Apa kepentinganku bertanya dimana keberadaan istri orang (saat itu, aku tidak tahu bahwa dia telah bercerai).
Hingga suatu saat, aku rasa sudah move on dari dia dan Juminten. Aku berniat untuk hendak menikah (lagi). Setelah sebelumnya gagal.
Maka aku datang ke rumah ustadz Idrus untuk meminta tolong, membantu menuntaskan hajatku.
Saat itu, aku datang di pagi hari, tidak seperti biasa. Aku datang di Shubuh hari, sekaligus untuk mengikuti taklim yang diajar oleh Ustadz Idrus kepada warga sekitar. Beliau mengajar di masjid yang tidak jauh dari rumahnya.
Sesuai taklim selesai, aku langsung menemuinya. Beliau bilang, ke rumah saja. Biar lebih nyaman berbincangnya.
Aku dan Ustadz Idrus berjalan kaki menuju rumahnya. Ketika sampai di rumah beliau, aku betul terkejut. Akhirnya aku bertemu si dia setelah sekian lama. Saat itu, tatap mata kami beradu dua detik. Masing-masing dari kami langsung menundukkan pandangan.
"Heyy, apa kabar. Lama tidak jumpa ya?"
Aku mulai menyapanya, dengan sedikit gugup.
"Eh, iya. Baik Doo. Iya, ya. Sudah lama sekali kita tidak berjumpa."
Si dia juga nampaknya gugup.
"Mana suamimu? Di masjid juga kenapa tidak terlihat tadi yaa."
Aku bertanya dengan polos. Sekali lagi, aku tidak tahu bahwa mereka telah bercerai.
Ustadz Idrus berdehem.
"Nanti saja di dalam lanjutkan obrolan kalian. Ayo sekarang masuk dulu."
"Eh, iya tadz."
Aku menggaruk kepala yang tidak gatal.
Sampai di dalam, aku disajikan sarapan. Si dia yang membawa makanan-makanan itu ke ruang tamu.
Aku tanpa basa-basi, langsung mengutarakan maksudku ke sini. Aku meminta beliau mencarikanku istri.
"Kamu mau mencari calon istri yang seperti apa?"
Ustadz Idrus merespon permintaanku.
"Terserah ustadz bagaimana, yang kira-kira cocok sama saya saja. Barangkali ada murid-murid dari pengajian ini, atau murid dari istri ustadz yang sudah siap menikah. Saya tsiqoh tadz. Saya percaya kalau seorang guru pasti akan memberikan yang terbaik untuk muridnya."
Aku menjawab takzim, urusan calon istri aku serahkan saja kepada guruku. Aku tidak mau mencari kriteria macam-macam. Yang penting satu, perempuan itu mau sama aku. WKwkwk.
"Sebelum aku menjawab, mau kah kamu mendengar suatu kisah?"
"Tentu saja, tadz. Dengan senang hati."
"Ini kisah nyata. Ada seorang perempuan, dia seorang yang shalihah. Sangat taat pada agama dan orang tuanya. Perempuan itu kemudian menikah. Namun di tengah jalan, pernikahan dengan suaminya bubar. Suaminya ternyata memiliki penyimpangan seksual yang tidak wajar. Mereka bercerai. Perempuan itu sekalipun belum pernah disentuh suaminya. Perempuan itu kini telah menjadi janda, namun sejatinya masih tetap seorang gadis."
Ustadz Idrus menjelaskan ceritanya.
Beliau kemudian melanjutkan.
"Pertanyaan saya, apakah kamu mau menikah dengan perempuan itu?"
Aku menjawab dengan mantap.
"Apabila ustadz menjamin, saya sekali lagi menjawab, saya tsiqoh apapun keputusan ustadz."
"Jadi, kamu betul bersedia jika saya jodohkan dengan perempuan itu?"
"Insyaa Allah saya siap, ustadz."
"Alhamdulillah."
Ustadz Idrus menjawab dengan lega.
"Mohon maaf sebelumnya, jika boleh tahu. Siapa nama perempuan itu, dan tinggal dimana dia tadz?"
Aku bertanya demikian karena berhak tahu, siapa calon istri yang dijanjikan oleh sang Ustadz.
"Perempuan itu asli dari kota ini. Dari sekolah dasar hingga kuliah juga di sini. Dia adalah... anakku."
Aku sangat terkejut mendengar perkataan Ustadz Idrus.
"Haa, bukankan dia sudah menikah beberapa tahun lalu tadz?"
"Benar, putriku memang sudah menikah. Namun kemudian telah bercerai dengan alasan yang telah aku ceritakan kepadamu tadi. Sekarang aku ulang lagi pertanyaannya, apakah kamu bersedia aku nikahkan dengan putriku atau tidak? Aku lihat, dari semua murid-murid pengajianku. Hanya engkaulah yang cocok untuk mendampinginya."
Bibirku bergetar, tanda gugup. Aku kemudian berkata siap menerimanya dan mengucapkan terima kasih banyak.
Si dia yang berada di dalam kamarnya, mendengar sayup-sayup perbincangan aku dan Abi-nya. Ternyata, dia juga sangat senang sekali.
***
Kedua orang tuaku kemudian bersilaturahmi (bukan ber-silaturahmi seperi di awal cerita, yaa wkwkwk) ke rumah Ustadz Idrus yang sebentar lagi akan aku panggil Abi. Satu bulan kemudian, pernikahan benar-benar terjadi. Grup WhatsApp alumni organisasi yang kami ikuti kembali heboh.
Akhirnya, kalian benar-benar menuntaskan hubungan terlarang kalian menjadi hubungan legal yang tidak terlarang.
Aku hanya tertawa mendengan peryataan ini.
Aku kini telah resmi menikah, si dia telah menjadi istriku. Ustadz Idrus kini aku panggil menjadi Abi, beliau adalah mertuaku.
Judul cerita ini berubah menjadi layaknya FTV di Indo*siar;
Guru Mengajiku ternyata adalah Mertuaku.
Selesai..
Sebagian cerita berdasarkan kisah nyata.
Sebagian lagi terinspirasi dari novel Ketika Cinta Bertasbih, karya Ustadz Habiburrahman el Shirazy alias Kang Abik.
Sebagian lagi hanya khayalan belaka! :)
35 komentar
Terimakasih sudah membaca tulisanku sampai habis.
BalasHapusKritik dan saran yang membangun amat ditunggu :))
Apakah ini pengalaman pribadi kang? π
HapusAda sebahagian yg pengalaman pribadi *upss π
Hapus:-o maksudnya ini kisah penulis blog sendiri yang LGBT? Saya merinding baca pada awal-awal. Ups... sepertinya kudu baca dari episode awal.
HapusBukan gituu wkwkwk
HapusYa, coba baca dari episode pertama kang π
Hallo Kak Dodo, wah saya belum pernah baca novel Ketika Cinta Bertasbih, baru pernah nonton Ayat-Ayat Cinta. Itu sama kan ya pengarangnya?
BalasHapusTadi saya sempat mengira, aku nya ini si suami yang gay, eh ternyata tokoh protagonisnya. Hihihi.
Ceritanya menarik, dan sepertinya hubungan dengan guru ngaji ada yang diambil dari pengalaman pribadi ya? Hanya menebak dari beberapa istilah di dalamnya dan panggilan untuk Ustadz nya.
Semangat terus menulis cerpen yaa kak.
Iyaa, pengarangnya sama mbak.
HapusMakasih udah baca :)
Jadi sekarang kita gimana?
BalasHapusTeman kuliahku ternyata adalah pasangan hidupku, mungkin itu judul yang tepat kali ya, biar seperti sinetron.π
Teman kuliahku yang merupakan anak dari guruku ternyata adalah pasangan hidupku
HapusMungkin ini yg lebih lengkap ππ
Terus sekarang gimana kabarnya kang, apa sudah punya anak? π
HapusWkwkwkwk, ceritanya belum ditulis. Nanti aku fikirkan π
HapusMungkin sudah punya anak kali ya, anaknya pintar kayak Jaenudin.π
HapusTemenan sama anaknya Mas Agus dong.. Hiiihihu
HapusSeperti yang diduga pada postingan sebelumnya.. pasti si dia dan suaminya bakal cerai. Tapi nggak nyangka itu penyebabnya, si suami itu gay!
BalasHapusTapi bagus sekali pengakhirannya.. happy ending buat si doo dan si dia..
Terimakasih sudah mengikuti hingga akhir cerita, Cik!
HapusSama-sama ya mas dodo... Makasih sudah menghasilkan cerita yang bagus mas...
HapusAlhamdulillah, ehehehee....
HapusThanks atas apresiasinya Cik π
Terbaik ..menarik
BalasHapusTerimakasih, Cikgu. Apakah Cikgu memahami kalimat kalimat saya di blog ini?
HapusAlhamdulilah akhirnya si dia dan aku menikah ya. Kalau jodoh emang nggak kemana. Walaupun sempet nyasar ke lain hati tetep bakal balik ke tempatnya yang sejatiπ
BalasHapusAlhamdulillah mbak, kalo jodoh ga kemana wkwkwwk
HapusYah, si perempuan wajar sih minta talak. Bagaimanapun emang susah sembuh dari LGBT. Ada yang bilang sih, kalo udah sempet masuk ke dunianya, sempat ngelakuin penyimpangan itu, susah keluar dari penyimpangan tersebut. Selain soal image, rada sulit ngilangin nafsu syahwat yang nggak wajar itu. Bisa sembuh dan balik ke hetero lagi, ya kalo ada tekad dan dapat dukungan dari orang-orang terdekatnya, yah pasti bisa. Ga ada yang mustahil yah.
BalasHapusYaa.. Ga ada yg mustahil. Semoga temen2 LGBT bisa segera sembuh n kembali ke jati diri mereka. Aamiin... :)
Hapuswah kalo jodoh memang gak akan kemana ya, meski status janda tapi rasa perawan l, mantab sekali mas hehe :D
BalasHapusJanda rasa perawan.. Hahaaa
HapusTebakan pertama ku yg gay ternyata beneeeer :D. Btw, sabaaar amat si dia mau nunggu sampe setahun ga disentuh2 :D. Saluuuut. Kalo aku, kayaknya udh minta cerai sebulan ga disentuh ππ..
BalasHapusTernyata sebagian terinspirasi dr kisah nyata toh mas :). Langgeng2 yaaaa kalian π
Hiihhii
HapusLanggeng2 kalian itu untuk tokoh "aku" dan "dia" kan kak?
Sebab aku masih jomlo nij wkwkk
masa baca, saya dah boleh agak apa pengakhirannya...sedihnya kalau ia berlaku dalam lingkungan kita...
BalasHapusTerimakasih sudah baca kak Anies
HapusSeperti dugaanku kalau si suami ini orientasi seksualnya berbeda.
BalasHapusOh ya Mas, mau ngasih saran. Pada part pernyataan si suami yang akhirnya mengakui orientasi seksualnya, aku rasa menyematkan kata liberal atau sekurel tidak ada hubungannya dengan orientasi seksual. Aku harap apabila selanjutnya ingin membuat jalan cerita sejenis, Mas melakukan sedikit penelitian terhadap orientasi seksual agar ceritanya berjalan luwes dan tidak terkesan dipaksa.
Di youtube ada beberapa wawancara atau video reaksi terkait jalan cerita sinetron dan film Indonesia yang mengangkat tema LGBTQ. Aku harap ini bisa membantu untuk kedepannya kalau Mas ingin membuat jalan cerita sejenis. :)
By the way, makasih atas sarannya mbak Pipit..
Hapuskeren mas. jodoh gak akan kemana.
BalasHapusSebagai salah satu pembaca setia katanya fiksi tp ternyata sebagian adalah kisah nyata, aku selalu menunggu-nunggu pesan sponsor diakhir. Selalu ada yang mengejutkan di akhir. Seperti kisah ini yg judulnya berubah menjadi judul FTV π
BalasHapusπ π
HapusJodoh kaga ke mana ya kak Dodo πππ
BalasHapusJangan-jangan ini sekalian doa supaya nanti suatu saat beneran nikah dengan si dia ehem