Dibayarin
Suasana pedesaan hari ini begitu
bahagia. Suasana sukacita tergambar dari raut muka anak-anak yang sejak
pagi telah ramai di masjid. Ya, hari ini adalah Hari Raya Iduladha.
Anak-anak berkumpul di masjid karena hendak melaksanakan Sholat ‘Id. Setelah itu akan diadakan
pemotongan hewan qurban. Seekor sapi dari Bupati disumbangkan ke warga
desa untuk disembelih. Anak-anak menunggu agar mereka ikut kebagian
makan siang bersama dari hasil daging qurban.
Walaupun suasana di luar sedang
sangat gembira. Lain hal dengan di dalam rumah. Di ruang tengah,
televesi sedang menyala menyiarkan saluran TVRI. Wakil Presiden RI Letjen
TNI (Purn.) Soedharmono tengah diwawancara karena baru saja
menyumbangkan dua ekor sapi Australia untuk dijadikan hewan qurban di
Masjid Istiqlal Jakarta. Kala itu, tahun 1991 beliau menjadi pimpinan
tertinggi lembaga eksekutif negara untuk sementara karena Presiden
Soeharto tengah menunaikan ibadah haji.
“Pakde, tolonglah keponakanmu ini. Anakku butuh biaya kuliah di Jakarta, dua puluh lima juta rupiah saja.”
Permadi tengah bersimpuh di depan televisi yang menyala, hendak meminjam uang kepada Pakdenya yang tak lain adalah kakak kandung dari ayahnya.
“Bukanya tak mau meminjamkan. Panjenengan tahu sendiri, Pakdemu ini hanya seorang petani
yang tak memiliki uang banyak. Anakmu tak usah diturut mau kuliah jauh.
Kuliahnya di ibukota provinsi ini saja.”
Pakde Sumijo menolak untuk memberikan pinjaman, walaupun sebenarnya ia memiliki uang yang cukup.
“Begini saja Pakde. Rumahku yang di pinggir jalan sana, bisa Pakde bayarin. Jadi ndak perlu takut kalau aku tidak mengembalikan uangnya.”
Permadi kembali melakukan permohonan agar Pakdhe Sumijo mau meminjamkan uang.
Setelah negoisasi yang cukup alot, akhirnya Pakde Sumijo memberikan Permadi uang,
“Ya sudah, ini uangnya dua puluh lima juta, rumahmu yang di sana Pakde bayarin!”
Baca juga ;
Dua puluh lima tahun berlalu. Pakde Sumijo telah meninggal. Dokumen satu lembar pun tidak tercatat di atas kertas, saksi walau satu orang pun tidak ada yang melihat kejadian di depan televisi kala itu secara langsung.
Anak Pakde Sumijo hendak mengambil alih rumah tersebut.
“Lha, bukannya bapakku sudah membeli rumah ini ke sampeyan, Mas Permadi?”
Yanto menolak uang dari Permadi yang dimaksudkan untuk melunasi hutang.
“Bukan, Njenengan salah
faham. Saya meminjam uang ke bapakmu dan rumah itu sebagai jaminan.
Saya tidak menjualnya. Jika hutang tersebut tidak mampu dibayar, kalian
bisa ambil rumah tersebut. Hari ini saya datang untuk melunasi
hutang.”
Permadi menyanggah pernyataan Yanto yang merupakan anak Pakde Sumijo.
“Ndak, Mas Permadi! Bapak bilang ke kami bahwa sampeyan butuh uang, maka rumah tersebut dijual ke bapak. Bapak ndak pernah bilang sampeyan pinjam uang. Kami sekarang hanya mau meminta hak kami! Kalau sampeyan tidak mau menyerahkan rumah tersebut, kita bawa saja masalah ini ke pengadilan!”
Yanto mulai tersulut emosi.
“Sabar Yanto, kita ini keluarga, sedhulur. Harus hidup rukun dan damai.
Aku dan bapakmu saat itu benar-benar keliru, seharusnya saat itu kami
membuat catatan di atas kertas agar tak terjadi keributan ini. Aku
berani bersumpah, aku tidak menjual rumah itu. Hanya menjadi jaminan. Panjenengan harus percaya sama saya!”
“Bapak bilang ke kami bahwa rumah Mas Permadi yang di pinggir jalan sana mau dibayarin. Piye tho, Mas?”
“Iya, begitu. Maskud dibayarin adalah sebagai jaminan. Bukan mau dijual!”
“Ini akad nya harus jelas, saat itu jual
beli atau pinjaman. Apalagi uangnya besar, harusnya ada saksi ketika
kejadian dua puluh lima tahun yang lalu. Ya sudahlah, daripada debat kita tak kunjung selesai, aku
terima saja pembayaran hutangnya!”
Akhirnya Yanto melunak.
“Ini ya, uangnya. Dua puluh lima juta rupiah. Saya bayar lunas. Semoga bapakmu tenang di sana!”
Permadi hendak menyerahkan uang.
“Astaga mas, sampeyan ini gimana sih. Baru saja
beberapa detik yang lalu kita sudah dingin. Kenapa dibikin panas lagi.
Yang benar saja, tahun 1991 harga emas satu gram sekitar Rp 13.500.
Harusnya disesuaikan dengan keadaan sekarang, dong. Saat ini harga emas sekitar 600
ribu rupiah. Artinya, 25 juta rupiah saat itu setara dengan 1,1 Milyar
rupiah hari ini. Mas Permadi harus bayar hutang dengan nominal
tersebut.”
“Sampeyan kurang ajar sekali. Mentang-mentang saya punya hutang sama bapakmu. Sampeyan mau memeras saya?”
Karena tidak ditemukan titik temu, akhirnya mereka membawa masalah ini ke pengadilan agar dapat diselesaikan secara adil.
◼◼◼
Cerpen ini ditulis pada bulan November 2019, diterbitkan oleh Penerbit Anlitera, buku kumpulan Cerpen "Gemintang Malam".
Dipublikasikan di blog dengan sedikit perubahan.
◼◼◼
Cerpen ini ditulis pada bulan November 2019, diterbitkan oleh Penerbit Anlitera, buku kumpulan Cerpen "Gemintang Malam".
Dipublikasikan di blog dengan sedikit perubahan.
32 komentar
Waduh.. Akhirnya gimana, penasaran saya. Udah terbawa suasana nih😟...
BalasHapusApa mereka terus musuhan
Lho, sama! Akhirannya gimana ini, nanti malam aku jadi nggak bisa tidur gara-gara nggak tahu akhirannya 🤣
HapusBtw, aku suka sama gaya tulisan kak Dodo, dibacanya enak banget, ngalir gitu dan bahasanya mudah dimengerti 😁
Ehehehe...
HapusUntuk jawaban lengkap, bisa tanyakan ke Pak Hakim di pengadilan 😀
Btw, makasih apresiasinya mbak, dan makasih udah baca.
Jangan bosan2 baca tulisan di blog ini yaa :)
Ladalaah.. Permadi yo nggilani, dari awal bahasanya udah salah, pake nggak ada saksi lagi, jadi penasaran siapa yg menang di pengadilan, hhaha..
BalasHapusDan terkadang, kesalahan simpel seperti ini. Tidak ada saksi dalam transaksi, atau penggunaan kalimat yg ambigu.. Sering terjadi di kehidupan masyarakat kita
HapusBtw makasih udah mampir mbk :D
Masyarakat +62 memang ajaib, haha..
HapusMestinya orang ketiga alias penulis bisa jadi saksinya itu, biar gak ribut mas Yanto sama mas Permadi haha😆 Rame cerpennya kak!😁
BalasHapusMestinya begitu. Eheeheh.. Next time lah kalo ada yg sengketa aku harus jadi saksi 😀😀
HapusLanjut bang lanjut, jadi penasaran apa yang terjadi selanjutnya. Semoga mereka tidak baikan
BalasHapusHobi kali lihat orang gelud wkwwkk
HapusGelud itu sebuah seni babg
HapusHampir bingung antar tokohnya, karena saya susah mengingat nama. Apalagi ini nama yang digunakan khas daerah Jawa sekali yah huhu
BalasHapusBut, saya menangkap inti cerita perihal dibayarin wkwkk
Cerita selanjutnya insyaa allah akan dibuat menjadi lebih Indonesia 😅
HapusPerjanjian di atas hitam putih itu mmg penting.. kaya pentingnya bukti di akuntansi hiyaa
BalasHapusBetul, apalagi jual beli properti seperti ini. Kudu.
HapusApakah ini buku antologi yang kakak pernah bilang waktu itu, Pernah ada buku antologi tapi gak beli bukunya? Wkwk
BalasHapusYoi.. Betul. Makasihlah kamu krn sdh biso baca scr gratis, dk usah beli. Hahahaha
Hapusakan bagaimanakah bentuk adil ending cerita itu ya
BalasHapusnantikan di cerita selanjutnya, kapan2 Insyaa allah. Ehehe
HapusDan saya sebagai hakim memutuskan bahwa..
BalasHapusYang salah bukan Permadi maupun Yanto, tapi mas Dodo karena tidak menyelesaikan cerpennya.🤣
Saya belajar dari Mas Agus, loh yg bikin cerpen tapi endingnya nanggung. Wkwkwkwk 😀😀
HapusMayan sering loh masalah begini terjadi di masyarakat. Nais kak. Keren cerpennya
BalasHapusSiappp, makasih udah baca
Hapusini cerita asli atau fiksi kak
BalasHapusFiksi..
HapusHmm,, kejadian begini nih yang suka bikin hubungan jadi nggak enak. Emang dari awalnya nggak jelas sih ya. Kata rumah "dibayarin" sebenernya udah rancu.
BalasHapusBetul.. Baiknya, apabila di kehidupan nyata. Hubungan jual beli, hutang piutang, haruslah jelas.. Jangan jadi rancu
HapusMantab harus dilanjutkan nih ceritanya 👍 #Dwiki
BalasHapusEh bener juga ya, harga emas kan naik, masa iya bayarnya sama :D
BalasHapusTapi kalau 1,1 M juga bikin glek dong ya hahahaha.
Trus gimana nih jadinya?
Jadi mereka dibawa ke Pengadilan. Ceritanya gimana, belum kepikiran. Belum ditulis, mbak. Ehehehe...
Hapusbenar, secara agama memang harus dibayar segitu. Sayangnya nggak ada hitam di atas putih ya. Sebagai perbandingannya dihitung dengan emas. Gus Baha pernah membahas ini. Karena 25 juta pada tahun 1991 (belum krismon) berbeda nilainya dengan 25 juta tahun 2020. 25 juta tahun 1991 mungkin bisa beli motor baru gress 8 biji atau mungkin lebih, nah tahun sekarang, mana dapat tuh.
BalasHapusnah itu, jadi harus ada hitam di atas putih ya mbak.. biar ga ada perselisihan di kemudian hari...
Hapus