Ini adalah istriku. Dia adalah orang yang paling ku cinta.
Begitu pula sebaliknya. Aku adalah orang yang paling dia cinta. Dia sangat-sangat memprioritaskan diriku, alih-alih dirinya sendiri.
Kami saling mencintai. Bahagia sekali.
Teringat sekitar dua tahun lalu, tepatnya 14 Agustus 2022 (seharusnya diposting tepat di tanggal 14, namun tak apa lah yaa telat sedikit, haha!)
Kami bersua di Bandara Soekarno Hatta (Soetta). Dia menghubungiku karena telah lama tak bertemu. Ku putuskan untuk datang ke sana. Naik sepeda motor, perjalanan diperkirakan satu jam lamanya.
Dia telah tiba di bandara, pukul sebelas tepat. Sedangkan aku, tidak sesuai rencana. Perkiraanku meleset. Telah lewat satu jam, namun aku belum tiba jua. Ada dua faktor.
Pertama, jalan menuju Bandara Soetta, entah sejak kapan, sedang diperbaiki. Jadi kita harus melalui jalan lain, yang memutar cukup jauh. Memakan waktu yang lama.
Kedua, dia menggunakan pesawat Garuda Indonesia. Maka landing-nya di Terminal 3. Bukan Terminal 1 atau Terminal 2. Kabar buruknya, aku belum pernah sekalipun ke Terminal 3. Jadi, harus mencari-cari dulu dimana tempat parkirnya, jalannya masuk lewat mana, dan sebagainya.
Motor telah diparkir. Aku telah berjalan menuju tempat kedatangan. Seperti yang dikatakan di awal, Terminal 3 adalah tempat yang asing bagiku. Saat itu kami sudah sama-sama di Terminal 3, tapi bingung dimana patokannya.
“Aku di depan Alfa express,” sejurus kemudian foto ku kirimkan melalui pesan WhatsApp.
Dia pun membalas dengan cepat, “Sama, aku juga. Tapi kamu dimananya?” dia mengirimkan foto Alfa express juga, tempat yang sama. Namun aku tidak menemukan keberadaannya.
Satu jam berlalu. Sudah menjelang pukul dua belas siang. Sebentar lagi adzan Zhuhur. Akhirnya kami bisa bertemu, setalah banyak drama berlalu.
Semisal, “Aku sudah di dekat Pegadaian yang kamu foto,” tetapi dijawab, “Lah, aku sudah gak di situ lagi. Udah geser ke Mushollah.”
Atau, “Aku sudah di mushollah nih, kamu di dalam ya? Ayok keluar!” dia tetapi berseloroh, “Aduuuh, aku balik ke Pegadaian yang tadi kamu di situ.”
Berat sekali perjuangan hendak bertemu.
Dia saat itu adalah sahabatku, berjenis kelamin perempuan. Dia bilang tidak masalah kan apabila bersahabat dengan lawan jenis. Iya, bagi dia tidak masalah. Tapi bagiku, itu adalah 'masalah'. Sudah barang tentu akan muncul “hal-hal lain” yang kita inginkan. Rasa itu muncul. "Witing tresno jalaran soko kulino," kata Orang Jawa. Bahwa cinta itu tumbuh karena ada kebiasaan.
Baik, kita kembali ke Bandara Soetta. Kenapa kami bisa berjumpa di sana?
Dia hendak memulai kuliah, diterima S-2 dengan beasiswa penuh dari Pemerintah. LPDP namanya. Kampusnya di Bandung. Maka, pesawatnya terbang dari Palembang menuju Bandara Soetta, baru kemudian lanjut ke Bandung menggunakan mobil travel (tidak ada pesawat direct Palembang ke Bandung).
Sedangkan aku, saat itu tengah bekerja di Tangerang. Jadi mudah saja apabila hendak ke Bandara Soetta.
(Oh yaa, sebagai informasi. Secara letak wilayah, Bandara Soekarno Hatta terletak di Kota Tangerang, Provinsi Banten. Agak kurang tepat apabila dikatakan Bandara ini terletak di Jakarta.)
Sekira dua hari sebelumnya, dia mengajakku bertemu di bandara itu. Sebab dia beralasan kita sudah lama tak jumpa. Kemudian dia juga menitip dibawakan makanan. Nasi Padang sepuluh ribuan juga tidak mengapa. Namun di hari H, aku membawakan lebih dari yang diminta. Aku membawakan jajanan warung yang baru saja dibeli dari toko grosir sebelum berangkat ke bandara. Aku membeli jajanan semisal Better, biskuit Roma Kelapa, kacang-kacangan, dan sebagainya. Tidak terlalu ingat detail. Lupa juga.
Saat dia bertanya, “Mana Nasi Padang nya?”
Aku jawab dengan santai, “Udah, gampang. Ayok kita makan di KFC saja!” (saat itu belum ada anjuran untuk boikot yaak, hehe)
Dan kemudian dia berjanji padaku, “Nanti kamu harus ke Bandung. Aku akan balas traktir kamu di sana, ya!”
Kembali ke KFC.
Makan siang kali itu, sederhana saja sebetulnya. Sepotong ayam goreng, nasi dan minuman cola. KFC di Terminal 1 itu cukup ramai. Aku sangat menikmati makan siangku kali ini. Pertama, tak dapat dipungkiri bahwa rasa ayam goreng KFC memang enak. Aku sudah lama sekali tidak makan ayam goreng KFC, biasanya makan ayam goreng abang-abangan di dekat mess seharga delapan ribu rupiah. Kedua, ya karena ‘dengan siapa’ aku makan. Tidak hanya ‘dengan apa’. Itu yang penting.
Obrolan kami mengalir begitu saja. Sesekali aku curi pandang, menatap senyumnya yang manis. Terkadang mata kami beradu, aku kemudian langsung pura-pura fokus kembali ke ayam gorengku. Ah, rasanya aku saat itu adalah manusia paling bahagia di Bandara Soetta.
Apabila makan telah usai, kami lanjut kepada shalat. Selepas itu, kami lanjut ngobrol-ngobrol di salah satu kursi yang disediakan di sana. Dia membuka salah satu makanan yang kubawa. Roti Better yang dia pilih rupanya.
“Jadi apa rencanamu setelah sampai Bandung?” obrolan itu dimulai, sambil menggigit secuil Better.
“Yaa, aku akan tetap tinggal di Bandung selama dua tahun. Menyelesaikan studiku. Sembari berkeliling ke tempat-tempat yang menarik. Mulai dari yang dekat-dekat dari Bandung. Lembang, Cimahi, Tasikmalaya, dan sekitarnya. Sesekali bisa keluar kota. Jika libur bisa keliling Jakarta, bisa ke Jogja, Malang, dan seterusnya. Semua wilayah Pulau Jawa, harus ke sana! Telah lama aku impikan.” Dia bercerita dengan penuh semangat.
“Jadi, kamu tidak akan pulang ke Palembang?” tanyaku penasaran.
“Ya, betul. Tidak akan pulang.” jawabannya mantap.
“Sekali pun?”
“Iya, sekali pun!”
Topik kembali berganti. “Jadi kapan kamu mau menikah?” lagi-lagi aku kembali bertanya sambil memakan Better.
Dia kembali menjawab dengan mantap, “Paling cepat 2024, atau 2025. Pokoknya menyelesaikan studiku dulu.”
“Setelah itu, mau ngapain?”
“Yaa, bekerja. Mau mejadi wanita karir yang berdaya!”
”Kalau suamimu tidak mengizinkan bekerja bagaimana?”
”Tidak apa-apa. Asalkan gajinya sudah menyentuh angka dua digit.”
”Dua digit berapa?” Aku terus bertanya, seperti mengintrogasi.
“Minimal belasan juta, boleh lah.. Eh, kenapa bertanyanya seperti ini?”
Aku manggut-mangut. Gajiku saat itu masih jauh dari angka yang dia bilang.
Tanpa terasa, waktu sudah mendekati pukul tiga sore. Itu adalah jadwal mobil travelnya ke Bandung. Sebenarnya, aku hendak menahannya lebih lama lagi. Tapi kalau dia terlalu sore, bisa menjadi lebih malam sampai Bandung nya. Dari Bandara Soetta menuju Bandung, membutuhkan waktu sekira empat jam.
Aku membantu mendorong trolinya, penuh dengan koper dan tas. Satu momen ketika dia hendak minum, namun kesulitan membuka tutup botolnya, aku membantunya. “Nah begitu, dong. Jadi cowok harus peka. Gitu yang cewek suka..” dia menggodaku.
Akhirnya mobil yang ditunggu telah tiba. Kami hanya berjarak sekian meter dari mobil travel ke Bandung tersebut. Aku dengan sigap membantu memasukkan tas-tas dan koper ke dalam bagasi. Kernet dari travel sambil basa-basi bertanya, “Itu akangnya gak ikut, teh?”
“Iya nih, dia nya gak mau, kang. Padahal sudah ku ajak!” Dia kembali menggodaku. Aku hanya tersenyum seraya ber-heh!
Mobil travel telah berjalan, dia melambaikan tangan seraya tersenyum, “Ku tunggu di Bandung, yaa!”
Aku membalas senyumnya dengan takzim.
**
Selepas pertemuan itu, aku pulang. Kembali ke mess. Mulai kembali berfikir rasional. Dia nampaknya hanya menganggapku teman saja. Tidak lebih. Tidak bisa diajak kepada yang lebih serius. Dari jawabannya semisal, mencari yang gajinya dua digit, itu tak lebih adalah penolakan secara halus. Dia pasti faham maksud pertanyaan kiasanku, dan dia juga menjawab dengan jawaban metafor.
Aku yang saat itu memang hendak ingin menikah, sudah mengambil kesimpulan bulat, cari yang lain sahaja.
Takdir tidak ada yang tahu.
Sampai di Bandung, ternyata dia sakit. Sempat dirawat hingga dioperasi. Sedih sekali. Keinginan untuk jalan-jalan kesana kemari tak dapat dituruti. Singkat cerita, sebab sakit itu, dia merasa perlu menikah (cerita lengkap insyaa Allah akan pada tulisan khusus nanti).
Aku pun, karena memang hendak menikah, mengamalkan shalat Istikharah. Shalat minta petunjuk kepada Sang Maha Pencipta. Biasanya, kata Ustadz Khalid Basalamah yang ceramahnya aku tonton di Youtube, Allah akan memberikan kita pertanda dari doa yang kita gaungkan pada Istikharah tersebut.
Coba tebak, pertanda apa yang aku dapat?
Ternyata aku harus menikah dengan dia, sang sahabatku itu. Setelah memantapkan hati, atas keyakinan yang tinggi karena ini memang jawaban dan petunjuk dari Allah, aku memberanikan diri lagi. Tanpa pertanyaan metafor, tanpa kalimat-kalimat kiasan. Selepas shalat Maghrib di pertengahan November 2022, aku mengajukan diri untuk menjadi calon suaminya. Dan tanpa banyak drama, jawaban dia dalam sambungan telepon tersebut hanya dua kata, “Iya, boleh!”
**
Singkat cerita, akhirnya kami benar-benar menikah. Aku sangat bahagia saat itu, selepas kalimat “Saya terima nikahnya dengan mahar yang tersebut”.
Janji itu benar-benar ditepati. Dia pernah bilang apabila aku hendak ke Bandung, dia akan balas mentraktirku makan. Dan ternyata, dia membalasnya lebih dari itu. Tak hanya makan, kami jalan-jalan keliling Kota Bandung dan sekitarnya, Lembang hingga ke Tangkuban Perahu. Kami juga menginap di satu kamar yang sama. Tidur berdua.
YAA WAJAR YAA KAN KAMI SUDAH JADI SUAMI ISTRI, HEHE!
**
Apa hubungan dengan foto di awal?
Begitulah takdir bekerja.
Mari sini, ku ingatkan kembali. Dua tahun lalu ketika ku tanya, dia berkata tidak akan pulang selama dua tahun. Nyatanya, dia bahkan pulang beberapa bulan setelah pertanyaan itu. Dia tidak hanya pulang, namun juga bersilaturahmi ke rumah orangtua ku. Kemudian tinggal di Tangerang, bersama sahabat yang kini telah menjadi suami.
Lebih dari itu, hingga akhirnya melakukan penelitian di Kota Batam. Yang sama sekali tidak terbayangkan sebelumnya.
Kenapa demikian?
Satu bulan setelah menikah, ternyata aku dimutasi ke kota itu. Dari Tangerang ke Batam. Maka untuk mensiasatinya agar kami tidak LDR terlalu lama, maka dia mengambil topik penelitian di kota ini.
Sekali mendayung, dua-tiga pulau terlampaui.
Selamat telah menyelesaikan studi S-2 nya yaa, sayang!
Dari sahabatmu, yang kini jadi suamimu!