Kangg Mas Joe

Blognya Dodo. Tidak semua yang diposting adalah nyata, banyak pencitraan dan fiksinya.


Hari ini tanggal satu Oktober. Di kalender nasional, kita memperingati Hari Kesaktian Pancasila. 
Kenapa? Karena sehari sebelumnya, 30 September, menjadi lembar kelam sejarah bangsa. Tujuh perwira TNI AD terbunuh, peristiwa itu dikenal sebagai G30S/PKI—meski hari ini media ada yang menulis “G30S” saja, ada juga yang menambahkan “PKI”.
Tulisan ini bukan mau berdebat soal sebutan. Saya hanya ingin bercerita sisi lain, dari sudut keluarga kecil kami. Kisah yang saya dengar dari bapak, saat ngobrol santai di beranda.

Aku memulai cerita ini bukan dari tragedi di lubang buaya, tapi dari tragedi yang terjadi di rumah-rumah biasa. 
Coba bayangkan ini. Sore itu, di beranda rumah, seorang ibu duduk sendiri, tangannya meremas sarung. Sudah lebih dari tiga malam anaknya yang berusia hampir dua puluh tahun tidak pulang.

Di era itu, pertengahan dan akhir tahun 60-an, suasana di desa kami terasa tebal oleh kecurigaan dan ketakutan. Orang-orang berbisik-bisik, menunjuk siapa yang terlibat, siapa yang nggak tahu apa-apa. Kalau ada yang hilang, tidak ada yang berani bertanya. Mereka yang hilang itu seolah terhisap bumi.

Anak ibu ini, adik dari Mbah Uti, memang ikut organisasi kepemudaan yang ternyata adalah sayap dari PKI. Ibu itu tahu betul, hilangnya anaknya adalah bagian dari pembersihan besar-besaran yang dilakukan setelah peristiwa G30S. Dia harus menerima kenyataan pahit: anaknya kini menjadi statistik tanpa kuburan, korban dari sebuah ideologi yang mungkin saja tidak sepenuhnya ia pahami.

Inilah iklim ketakutan yang membekas, yang kemudian merambat ke segala aspek kehidupan, bahkan ke kantor-kantor pemerintahan dan BUMN Perminyakan tempat Mbah Akung bekerja.

***

Sekitar awal dekade 70-an, Mbah Akung— saat itu seorang pria paruh baya—baru pulang kerja. Sehari-harinya beliau mengayuh sepeda onthel ke sebuah kilang minyak di tepi sungai besar di Sumatera. Helm putih dengan logo kuda laut masih nangkring di kepala, tas cangklong setia menempel di bahu.

Suatu malam, beliau didatangi seorang teman kerja. Membawa formulir, menawarkan bergabung dengan sebuah organisasi pekerja. Namanya Persatuan Pekerja **** (disamarkan).

Mbah awalnya menolak, karena sudah ikut Serikat Pekerja resmi. Tapi temannya ngotot. “Serikat terlalu pro pemerintah. Kita butuh wadah untuk kritis,” desaknya, suaranya pelan. "Kita butuh dukungan. Organisasi lama itu sudah terlalu jinak dengan Orba. Kita harus punya wadah untuk berdiskusi, Mas."

Mbah mengingatkan bahaya kalau ucapan itu sampai terdengar aparat. Tapi akhirnya, karena bujukan dan alasan ekonomi temannya, Mbah ikut juga. Tidak aktif, hanya “daftar nama”. Ia akhirnya menandatangani formulir itu, sebuah 'kompromi kecil' yang diyakini hanya akan berakhir di tumpukan arsip. Sebuah keputusan yang dibuat tanpa tahu bahwa di masa itu, satu tanda tangan bisa menjadi vonis.

Tahun-tahun berjalan normal. Hingga suatu hari heboh besar terjadi: organisasi itu ternyata underbow dari PKI. Pemerintah lewat aparat mengeluarkan aturan: anggota organisasi itu akan dipecat dari BUMN.

Mbah nyaris kehilangan segalanya. Untungnya, ia selamat karena faktor usia. Peraturan internal saat itu menyatakan yang dipecat hanya yang usianya di bawah 55 tahun. Mbah sudah hampir pensiun. Ia selamat dari pemecatan, tapi ia merasakan betul rasa bersalah dan kesedihan melihat teman-temannya. Mereka bukan hanya kehilangan gaji; mereka kehilangan status warga negara yang bersih.

***

Inilah yang menjadi warisan paling berat bagi anak-cucu mereka. Selama Orde Baru berkuasa, mereka membawa 'dosa turunan.' Jika ingin melamar ke TNI, Polri, PNS, atau BUMN, mereka diwajibkan melewati
Penelitian Khusus (Litsus) dan dari situ lahir dokumen yang terkenal: Surat Keterangan Bersih Diri (SKBD).  Sebuah sistem yang memaksa mereka membuktikan bahwa mereka layak menjadi warga negara, hanya karena nama leluhur mereka pernah tercatat di daftar hitam. Tanpa surat itu, seseorang sulit jadi PNS, sulit masuk ABRI, bahkan kuliah di universitas negeri tertentu pun bisa ditolak.

Yaa, begitu ironis. Stigma itu tidak berhenti pada orang yang dituduh saja. Anak, cucu, bahkan cicit ikut menanggung. Dicap sebagai “keturunan PKI”. Padahal mereka sama sekali tidak tahu menahu.

Cerita Bapak, ada tetangga yang dagangannya tidak laku hanya karena bisik-bisik: “Jangan belanja di warung itu, orangnya PKI.” Ada yang diasingkan dari pergaulan. Betapa kejamnya tuduhan.

Bapak menutup ceritanya dengan refleksi.
“Lihat, Mbah Akung selamat dari cap PKI. Tapi banyak orang lain tidak seberuntung itu. Anak cucunya ikut terbebani, hanya karena organisasi yang mereka sendiri mungkin tidak tahu arah politiknya.”

Hari ini, zaman sudah berbeda. Diskriminasi resmi terhadap keturunan PKI sudah dihapus. Bahkan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa di tahun 2021 pernah menegaskan bahwa anak keturunan PKI boleh mendaftar TNI. Satu langkah maju, meski luka sejarah belum tentu sembuh.

Aku masih termenung di beranda malam itu. Mbah yang “nyaris tercatat PKI”, adik Mbah Uti yang hilang tanpa kabar, tetangga yang dikucilkan, semua kisah itu mengingatkan: sejarah bukan cuma angka dan tanggal. Ia hidup dalam cerita keluarga, dan luka yang diwariskan.

***

Gambar diolah oleh Gemini.
Teks diolah oleh Chat GPT dan Gemini, menggabungkan dua tulisan yang lama, (Hampir) dituduh PKI (2020) dan Ngomongin PKI Lagi! (2022) dengan sedikit perubahan.


Setelah lama tak review buku dan jarang posting tulisan di blog, kali ini kami (aku dan istri) hendak menulis short review buku yang telah kami baca. Buku yang kami baca adalah novel karyanya penulis berdarah Minang, Uda J.S. Khairen. Judulnya, Dompet Ayah Sepatu Ibu. Novel ini terbilang baru, terbitan pertama Agustus 2023, dan novel yang kami beli adalah cetakan ke-19 yang diterbitkan oleh Gramedia pada Desember 2024. Novel ini sangat laku di pasaran. Tebal buku novel ini 216 halaman, dengan ukuran 13,5 cm × 20 cm.


Novel ini, secara teknis bisa diselesaikan dalam kurun waktu kurang dari sehari (24 jam) karena bahasanya yang ringan dan juga mudah sekali dicerna. Novel ini pas sekali untuk pembaca pemula yang baru suka membaca novel. Sayangnya kami bukanlah pembaca pemula. Sebelum menikah, ada banyak buku yang sudah kami khatamkan. Hanya saja, rutinitas sehari-hari yang padat dan menyita waktu membuat kami kesulitan untuk menuntaskan bacaan kami secepat itu. Meski tidak cepat, istri justru lebih berkomitmen dengan program "1Month 1 Book" yang kami buat. Ia menyelesaikan bacaannya di pertengahan bulan, di sela-sela kesibukannya mengurus usahanya, anaknya, dan tentunya diriku yang masih berstatus suami tercintanya hehe.. 

Sedangkan aku, baru punya kesempatan menyelesaikan bacaanku setelah hampir satu bulan terlalui. Bukan karena lama membacanya, namun bacaanku terhenti karena kesibukan dan kemalasanku. 
Karena tidak konsisten membacanya, aku justru merasa alur ceritanya terkesan lambat dan membuatku tidak tertarik untuk membuka halaman-halaman selanjutnya. Namun, aku masih menerka-nerka, di mana menariknya, Kenapa istri bisa sampai menangis di halaman-halaman awal. Setelah mendapatkan dorongan yang besar dari doi, alhasil aku pun berhasil menyelesaikan bacaanku pada jam sembilan malam dengan start membaca pada jam dua siang. Tentu dipotong waktu shalat, mandi, makan dan lain-lain. Selepas selesai menuntaskan novel ini, istri sangat senang. Itu artinya, kami akan segera kembali ke Gramedia untuk membeli buku baru yang ia sukai. dan sebagai suami yang baik, aku akan mencintai semua yang istri sukai, hehe..
*
Cerita di bab pertama, diawali dari tokoh bernama Zenna. Sedang di bab kedua POV dari Asrul. Begitu terus hingga beberapa bab. Satu masa menceritakan Zenna, kemudian menceritakan Asrul. Hingga dari dua POV yang berbeda, ceritanya akhirnya bersatu. Menceritakan mereka berdua dalam satu kejadian.

Zenna dan Asrul punya kemiripan. Mereka sama-sama dari keluarga miskin. Zenna bapaknya meninggal, Asrul bapaknya masih hidup tapi berbini tiga!
Keduanya sulit sekali untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi. Bahkan, untuk bersekolah sampai ke jenjang SMA/sederajat, Asrul yang diceritakan masuk ke SPG (Sekolah Pendidikan Guru) harus meng-ide menjadi penulis surat cinta bayaran agar perutnya tetap kenyang. Kepiawaian Asrul dalam menulis berawal dari kegemarannya dalam membaca koran. Saat keduanya lulus SMA, keduanya sama-sama punya tekad yang kuat untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi negeri. 

Zenna yang merupakan juara umum di SMA-nya tentu mampu mengerjakan soal ujian masuk perguruan tinggi dengan mudah dan namanya menjadi salah satu yang dinyatakan lolos di tahun itu, namun pada zaman itu belum banyak beasiswa seperti sekarang ini. Alhasil Zenna harus menahan diri untuk berkuliah, Ia bekerja untuk menyambung hidup, menghidupi keluarganya dan membiarkan cita-citanya tetap hidup, bahkan menyala bersamaan dengan kobaran api yang ia gunakan saat membentuk kepingan-kepingan emas. Lain dengan Zenna, Asrul memang tidak lolos ujian masuk perguruan tinggi karena kurangnya persiapan. Kurang belajar dan tentunya kurang uang. Alhasil Asrul pun memutuskan untuk bekerja dulu sebagai tukang kliping dan wartawan pemula di sebuah perusahaan koran harian lokal. Keduanya sama-sama bekerja keras mewujudkan keinginannya untuk berkuliah, walaupun dengan segala risiko dan tantangan yang ada. 

Di tahun depannya, Asrul dan Zenna kembali hendak mengikuti ujian masuk perguruan tinggi negeri. Mereka berdua bertemu di bus yang sama. Namun, Itu bukan pertemuan pertama mereka. Di tahun sebelumnya, Zenna dan Asrul juga bertemu di bus yang sama namun dalam kondisi yang menyedihkan. Sama-sama rela berdiri sepanjang perjalanan karena tidak sanggup bayar ongkos penuh. Saat itu, keduanya hanya bungkam menikmati perjalanan dan juga sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Berbeda dengan tahun sebelumnya, Pertemuan kedua justru menjadi awal perkenalan bagi mereka. Keduanya sudah punya uang yang cukup untuk membayar ongkos penuh dan bisa duduk di kursi penumpang selama perjalanan dan selama itu pula obrolan dirangkai. 

Nasib baik, keduanya pun akhirnya berhasil lolos dan bisa berkuliah. Ternyata memang benar keberhasilan adalah pertemuan antara kesiapan dan kesempatan. Dan begitulah cara semesta bekerja.

Petualangan baru segera dimulai.

Zenna diceritakan berkuliah sambil bekerja part-time di toko sepatu, namun bisa bekerja fulltime ketika liburan semester. Zenna juga berjualan kue, menjajakan dagangannya keliling kampus. Pengalamannya berjualan sudah dimulai sejak sekolah, saat itu ia dikenal sebagai gadis penjual jagung rebus. Kerja keras yang Zenna lakukan tidak lain dan tidak bukan hanya untuk membantu meringankan beban keluarganya. Sebagai anak tengah dari 12 bersaudara, Zenna harus struggle menjalani kehidupan untuk bisa mengubah nasibnya menjadi lebih baik. Ia percaya bahwa pendidikan bisa menjadi harapan bagi orang miskin yang kadang untuk bermimpi saja harus tau diri. Oh iya selama di Padang, Zenna menumpang tinggal di tempat bibinya, adik ibunya yang hidupnya lebih sejahtera. 

Sedangkan Asrul, sejak diterima menjadi mahasiswa, juga tidak bisa fulltime menjadi wartawan. Biaya kuliah dan tetek bengeknya amat tinggi. Namun ada saja akalnya. Kalau kamu bertanya, dimana Asrul tinggal selama di Padang? Ya, dia menumpang di kantor koran tempat dia bekerja. Ada satu kamar kosong yang bisa dia tempati. Lumayan menghemat pengeluaran, alih-alih membayar uang kos. Satu lagi, sama seperti Zenna, Asrul pun seringkali mengirim ke Umi nya, hasil bekerja menjadi wartawan.

Nampak senasib sepenanggungan, Asrul dan Zenna menjadi kawan akrab. Asrul menjadi sering membeli kue buatan Zenna, yang Zenna dapatkan resepnya dari koran tempat Asrul bekerja. Asrul sempat berkelakar beberapa kali mengajak Zenna untuk menikah, “Ayo kita menikah saja!”
Dan yaa. Pada akhirnya mereka menikah, meski dengan sangat sederhana.

Kehidupan pasca menikah juga lebih struggle lagi. Zenna yang akhirnya menjadi PNS, dan Asrul menjadi wartawan fulltime, ditambah mereka langsung dikaruniai anak. Plus lagi, mereka tetap harus mengirim uang ke kampung, ke keluarga masing-masing. Keduanya sandwich generation.

Di novel ini juga diceritakan bagaimana mereka menghadapi badai ekonomi yang bertubi-tubi. Khas kelas menengah yang mencoba survive, setelah dapat melewati kemiskinan struktural. Di sini lah aku dan istri merasa novel ini sangat relate dengan kehidupan kami.

Setelah kami ingat-ingat, kami juga cukup struggle menghadapi hidup sejak kecil dalam kemiskinan struktural. Walaupun, mungkin tidak sedramatis cerita Zenna dan Asrul, kami pernah mengalami berjualan makanan di sekolah dan kampus, kami pernah menginginkan sesuatu namun tak bisa karena ya memang tak ada uangnya.

Asrul menikahi Zenna dengan sederhana, juga terjadi di kami (walaupun sebagian orang tetap menganggap pernikahan kami tidak bisa dikatakan “sederhana”). Mereka kemudian hidup menumpang di kamar kosong kantor, mirip juga dengan kami di awal pernikahan mendapat mess/rumah dinas dari kantor.

Pada akhirnya, Asrul dan Zenna pindah rumah ke kontrakan, ini juga terjadi kepada kami. Biaya sewa tiap bulan keluar, plus masih mengirim ke orangtua masing-masing. Uang yang tersisa mungkin tidak banyak, tapi kami berharap apa-apa yang telah keluar beroleh pahala dan keberkahan. Aamiin.

Asrul dan Zenna kemudian memutuskan KPR, mendapat rumah di pinggir kota. Sangat-sangat pinggir, sangat-sangat jauh, dan rumahnya sangat-sangat kecil. RSS. Rumah sangat sederhana. Bahkan RSSSSSS. Sangat sangat sangat. Tidak ada pilihan, budget yang pas, memang adanya di pinggir kota dan rumah kecil. Mau di tengah kota dengan luas yang besar, harganya tidak masuk akal.

Yang terjadi di kami, mirip. Kami memang belum berencana ambil KPR rumah, tetapi sudah beberapa kali survei. Kami seringkali bergumam, tidak masuk akal. Rumah ini sudah kecil (bahkan aku tidak menganggapnya rumah, lebih seperti kamar kosan tetapi agak lebar sikit), dicicil bertahun-tahun, riba pula!

Roda itu berputar. Semakin lama, pintu kesuksesan dan kekayaan semakin terlihat di keluarga Asrul dan Zenna, walaupun halangan dan rintangannya selalu ada. Bagian yang paling menarik adalah, ketika mereka bersusah payah hendak masuk IKIP di Padang, anak mereka tak harus sesusah payah untuk masuk UI, dan cucu mereka sudah go international. Begitulah hidup, harus ada peningkatan-peningkatan. Dan peningkatan-peningkatan itu akan ada seraya usaha dan doa tetap menyala.

Semoga kita bisa mencapai itu. Aku, Kamu, Kita semua! 


Sudah lama sangat, saya tak naik pesawat. Dah lebih dari setahu  yang lalu. Akhirnya, hari ini kesampaian lagi.
Pesawat dijadwalkan pukul 07.00 WIB dari kota kami, dan alhamdulillah, ontime.


Sampai di Bandara CGK - Bandar Udara Internasional Soekarno Hatta, kami langsung menuju Nursery Room, memandikan anak gadis kami yang masih cimut. Dia masih tidur, tau-tau digendong aja masuk ke pesawat. Belum mandi, masih pakai baju tidur. 

Di CGK, saya sudah buat janji dengan kawan lama. Kawan tinggal serumah, semakan seminum setidur. Dua tahun lamanya, sebelum saya menikah dan dimutasi kerja. Oh yaa, dia sudah resign dari perusahaan tempat saya bekerja sekarang. 
Kalau masih ingat, ini kawan yang saya ceritakan, saat masa terkena Covid. Kami sama-sama menjalani isoman saat itu.
Baca : Akhirnya Kena Juga!

Dari obrolan yang terjadi, secara tersirat dapat saya tangkap, bahwa kawan ini dah besak gajinya. Nampaknya, bisa mencapai dua digit. Alhamdulillah. Sejujurnya saya senang sekali apabila ada kawan yang mendapat kenikmatan, dan kebahagiaan. Ikut bahagia juga kita mendengarnya.

Di perusahaan tempat dia bekerja sebelumnya (tempat saya masih bekerja sekarang), memang salary saya lebih besar dari dia. Tapi dia tidak patah arang. Dia katakan, bahwa tetap bekerja profesional, etos kerja tinggi, dan pastikan project itu closed. Meskipun kita harus melakukan sesuatu di luar jobdecs kita.

Dia memberi contoh, semisal jobdecs kita hanya bagian request part. Kirim email, selesai. Itu sebetulnya tidak salah, dalam kapasitas tanggung jawab individu. Namun, secara tanggungjawab tim, agak kurang mantap. So, kita harus ikut pastikan barang yang kita minta itu betul-betul dihantar ke tujuan. Bila perlu, ikut turun gunung. Kita temui orang-orang store, bantu mereka apabila terdapat kendala.

Well, kawan saya ini sangat bijak orangnya. Pun, dia nampaknya hendak menasihati kita, saya, tanpa terkesan terlihat menasihati. Padahal usianya dua tahun di atas saya.
Dan di akhir pertemuan, kami saling mendoakan. Agar karir kami, sama-sama lebih meningkat lagi sejak hari ini.




***

Perjalanan hari pertama ini sangat menyenangkan. Selain bertemu kawan lama, di perjalanan di dalam mobil saya melihat jalan-jalan dan keadaan kota Tangerang dan Jakarta. Serasa nostalgia, sebab dua tahun lalu pernah tinggal di sini. Perasaan merindukan masa-masa itu pasti ada. Dan semoga bisa mengunjungi tempat ini lagi, atau bahkan bekerja di kawasan ini lagi.. 😀
Postingan pertama di tahun 2025. Yuhuu!

Saya ingin bercerita tentang anak kami yang telah berusia setahun. Oh yaa ketika postingan ini dibuat, "ulang tahun" nya tidak tepat hari ini ya. Tetapi bulan lalu, hehe..


Alhamdulillah, sudah setahun. Lebih sedikit ketika tulisan ini dibuat. Tidak harus tepat. Sebab kami tidak membiasakan diri memperingati hal semacam itu.

Namanya, Syifa Esa Aljazirah.
Nama ini sudah kami rancang sejak ia masih dalam kandungan. Walaupun sebagian orang menganggap tabu hal itu.
Kata mereka, tidak boleh. Nanti anaknya sakit. Nama itu harusnya ketika bayi sudah lahir, baru diberikan.
Dan memang, pada awal kelahirannya, anak kami sakit. Sempat masuk NICU (Neonatal Intensive Care Unit; Semacam ICU untuk bayi) beberapa hari. Tetapi, tetap saja ini tiada hubungannya. Kepercayaan yang mengarah pada takhayul.
Kami "menghormati" saja kepercayaan semacam itu. Walau terdengar tak masuk akal bagi kami. Hihii..

Syifa.
Berasal dari Bahasa Arab, berarti "penyembuh" atau "kesembuhan". Kenapa harus Syifa? Ceritanya begini.
Umminya ketika sebelum menikah, dalam keadaan sakit. Baru selesai operasi besar. Harus minum obat selama berbulan-bulan. Namun, ketika hendak menikah, dan akhirnya kemudian hamil. Sakitnya perlahan hilang. Nyeri dan perih berangsur sembuh. Boleh jadi ini adalah cara Allah untuk menyembuhkannya. Maka, kejadian ini kami abadikan sebagai nama anak.
Selain itu, kami juga berharap bahwa Syifa akan selalu sehat. Dan ketika Syifa demam (sebab habis dari imunisasi), seorang Ustadz bertanya, "Syifa kok bisa sakit, kan namanya Syifa?" 😅

Esa.
Berasal dari Bahasa Jawa, berarti "satu" atau "tunggal". Ada beberapa makna. Syifa adalah anak pertama. Kemudian, kami mencari kata yang bermakna angka satu. Makna lain, kami ingin Syifa agar selalu menjadi "si nomor satu", menjadi anak yang terbaik dalam prestasinya, kebaikannya dan hal lainnya.
Dan terakhir, kenapa harus diambil dari Bahasa Jawa? Agar Syifa ingat bahwa leluhurnya, mbah buyutnya berasal dari Tanah Jawa. Syifa harus selalu ingat bahwa dia adalah orang Jawa, walau lahir di Pulau Sumatera. Pujakesuma; Puteri Jawa Kelahiran Sumatera. 😊 

Aljazirah.
Berasal dari Bahasa Arab juga. Yang berarti "kepulauan" atau "pulau-pulau". Alasannya adalah, ketika Syifa dalam kandungan, kami, kedua orang tua Syifa berpindah-pindah dari pulau ke pulau. Menikah di Pulau Sumatera, lantas ke Pulau Jawa, dan akhirnya dimutasi ke Pulau Batam. Beberapa kali masih ada urusan, harus kembali ke Pulau Jawa lagi. Kembali ke Sumatera lagi.
Alasan lain, kami ingin Syifa menjelajah ke pulau-pulau lain di Indonesia (sebab negara kita adalah negara kepualuan), hingga menaklukkan pulau-pulau lain di dunia.
Hal terakhir, nama Aljazirah juga terinspirasi dari stasiun televisi Timur Tengah, Aljazeera. Mereka memberikan kabar kepada seluruh dunia, tentang kekejaman yang dilakukan terhadap Palestina oleh Israel. Menjadikan ghirah kita sebagai Muslim, kembali membara untuk membela kemerdekaan Palestina. Secara tidak langsung, kami berharap agar Syifa menjadi pembela utama untuk Palestina merdeka.

Semoga Allah memberkahi anak kami, keluarga kami, dan keluarga kita semua yang membaca tulisan ini! 😄😉

Batam, Desember 2024
With love,
Abi dan Ummi

 


Ini adalah istriku. Dia adalah orang yang paling ku cinta.
Begitu pula sebaliknya. Aku adalah orang yang paling dia cinta. Dia sangat-sangat memprioritaskan diriku, alih-alih dirinya sendiri.
Kami saling mencintai. Bahagia sekali.

Teringat sekitar dua tahun lalu, tepatnya 14 Agustus 2022 (seharusnya diposting tepat di tanggal 14, namun tak apa lah yaa telat sedikit, haha!)
Kami bersua di Bandara Soekarno Hatta (Soetta). Dia menghubungiku karena telah lama tak bertemu. Ku putuskan untuk datang ke sana. Naik sepeda motor, perjalanan diperkirakan satu jam lamanya.

Dia telah tiba di bandara, pukul sebelas tepat. Sedangkan aku, tidak sesuai rencana. Perkiraanku meleset. Telah lewat satu jam, namun aku belum tiba jua. Ada dua faktor. 
Pertama, jalan menuju Bandara Soetta, entah sejak kapan, sedang diperbaiki. Jadi kita harus melalui jalan lain, yang memutar cukup jauh. Memakan waktu yang lama. 
Kedua, dia menggunakan pesawat Garuda Indonesia. Maka landing-nya di Terminal 3. Bukan Terminal 1 atau Terminal 2. Kabar buruknya, aku belum pernah sekalipun ke Terminal 3. Jadi, harus mencari-cari dulu dimana tempat parkirnya, jalannya masuk lewat mana, dan sebagainya.

Motor telah diparkir. Aku telah berjalan menuju tempat kedatangan. Seperti yang dikatakan di awal, Terminal 3 adalah tempat yang asing bagiku. Saat itu kami sudah sama-sama di Terminal 3, tapi bingung dimana patokannya.

“Aku di depan Alfa express,” sejurus kemudian foto ku kirimkan melalui pesan WhatsApp.
Dia pun membalas dengan cepat, “Sama, aku juga. Tapi kamu dimananya?” dia mengirimkan foto Alfa express juga, tempat yang sama. Namun aku tidak menemukan keberadaannya.


Satu jam berlalu. Sudah menjelang pukul dua belas siang. Sebentar lagi adzan Zhuhur. Akhirnya kami bisa bertemu, setalah banyak drama berlalu.

Semisal, “Aku sudah di dekat Pegadaian yang kamu foto,” tetapi dijawab, “Lah, aku sudah gak di situ lagi. Udah geser ke Mushollah.”
Atau, “Aku sudah di mushollah nih, kamu di dalam ya? Ayok keluar!” dia tetapi berseloroh, “Aduuuh, aku balik ke Pegadaian yang tadi kamu di situ.”
Berat sekali perjuangan hendak bertemu.



Dia saat itu adalah sahabatku, berjenis kelamin perempuan. Dia bilang tidak masalah kan apabila bersahabat dengan lawan jenis. Iya, bagi dia tidak masalah. Tapi bagiku, itu adalah 'masalah'. Sudah barang tentu akan muncul “hal-hal lain” yang kita inginkan. Rasa itu muncul. "Witing tresno jalaran soko kulino," kata Orang Jawa. Bahwa cinta itu tumbuh karena ada kebiasaan.

Baik, kita kembali ke Bandara Soetta. Kenapa kami bisa berjumpa di sana?
Dia hendak memulai kuliah, diterima S-2 dengan beasiswa penuh dari Pemerintah. LPDP namanya. Kampusnya di Bandung. Maka, pesawatnya terbang dari Palembang menuju Bandara Soetta, baru kemudian lanjut ke Bandung menggunakan mobil travel (tidak ada pesawat direct Palembang ke Bandung).

Sedangkan aku, saat itu tengah bekerja di Tangerang. Jadi mudah saja apabila hendak ke Bandara Soetta.
(Oh yaa, sebagai informasi. Secara letak wilayah, Bandara Soekarno Hatta terletak di Kota Tangerang, Provinsi Banten. Agak kurang tepat apabila dikatakan Bandara ini terletak di Jakarta.)

Sekira dua hari sebelumnya, dia mengajakku bertemu di bandara itu. Sebab dia beralasan kita sudah lama tak jumpa. Kemudian dia juga menitip dibawakan makanan. Nasi Padang sepuluh ribuan juga tidak mengapa. Namun di hari H, aku membawakan lebih dari yang diminta. Aku membawakan jajanan warung yang baru saja dibeli dari toko grosir sebelum berangkat ke bandara. Aku membeli jajanan semisal Better, biskuit Roma Kelapa, kacang-kacangan, dan sebagainya. Tidak terlalu ingat detail. Lupa juga.

Saat dia bertanya, “Mana Nasi Padang nya?”
Aku jawab dengan santai, “Udah, gampang. Ayok kita makan di KFC saja!” (saat itu belum ada anjuran untuk boikot yaak, hehe)
Dan kemudian dia berjanji padaku, “Nanti kamu harus ke Bandung. Aku akan balas traktir kamu di sana, ya!”

Kembali ke KFC.
Makan siang kali itu, sederhana saja sebetulnya. Sepotong ayam goreng, nasi dan minuman cola. KFC di Terminal 1 itu cukup ramai. Aku sangat menikmati makan siangku kali ini. Pertama, tak dapat dipungkiri bahwa rasa ayam goreng KFC memang enak. Aku sudah lama sekali tidak makan ayam goreng KFC, biasanya makan ayam goreng abang-abangan di dekat mess seharga delapan ribu rupiah. Kedua, ya karena ‘dengan siapa’ aku makan. Tidak hanya ‘dengan apa’. Itu yang penting.

Obrolan kami mengalir begitu saja. Sesekali aku curi pandang, menatap senyumnya yang manis. Terkadang mata kami beradu, aku kemudian langsung pura-pura fokus kembali ke ayam gorengku. Ah, rasanya aku saat itu adalah manusia paling bahagia di Bandara Soetta.

Apabila makan telah usai, kami lanjut kepada shalat. Selepas itu, kami lanjut ngobrol-ngobrol di salah satu kursi yang disediakan di sana. Dia membuka salah satu makanan yang kubawa. Roti Better yang dia pilih rupanya.
“Jadi apa rencanamu setelah sampai Bandung?” obrolan itu dimulai, sambil menggigit secuil Better.

“Yaa, aku akan tetap tinggal di Bandung selama dua tahun. Menyelesaikan studiku. Sembari berkeliling ke tempat-tempat yang menarik. Mulai dari yang dekat-dekat dari Bandung. Lembang, Cimahi, Tasikmalaya, dan sekitarnya. Sesekali bisa keluar kota. Jika libur bisa keliling Jakarta, bisa ke Jogja, Malang, dan seterusnya. Semua wilayah Pulau Jawa, harus ke sana! Telah lama aku impikan.” Dia bercerita dengan penuh semangat.

“Jadi, kamu tidak akan pulang ke Palembang?” tanyaku penasaran.
“Ya, betul. Tidak akan pulang.” jawabannya mantap.
“Sekali pun?”
“Iya, sekali pun!”

Topik kembali berganti. “Jadi kapan kamu mau menikah?” lagi-lagi aku kembali bertanya sambil memakan Better.


Dia kembali menjawab dengan mantap, “Paling cepat 2024, atau 2025. Pokoknya menyelesaikan studiku dulu.”
“Setelah itu, mau ngapain?”
“Yaa, bekerja. Mau mejadi wanita karir yang berdaya!”
”Kalau suamimu tidak mengizinkan bekerja bagaimana?”
”Tidak apa-apa. Asalkan gajinya sudah menyentuh angka dua digit.”
”Dua digit berapa?” Aku terus bertanya, seperti mengintrogasi.
“Minimal belasan juta, boleh lah.. Eh, kenapa bertanyanya seperti ini?”
Aku manggut-mangut. Gajiku saat itu masih jauh dari angka yang dia bilang.

Tanpa terasa, waktu sudah mendekati pukul tiga sore. Itu adalah jadwal mobil travelnya ke Bandung. Sebenarnya, aku hendak menahannya lebih lama lagi. Tapi kalau dia terlalu sore, bisa menjadi lebih malam sampai Bandung nya. Dari Bandara Soetta menuju Bandung, membutuhkan waktu sekira empat jam.

Aku membantu mendorong trolinya, penuh dengan koper dan tas. Satu momen ketika dia hendak minum, namun kesulitan membuka tutup botolnya, aku membantunya. “Nah begitu, dong. Jadi cowok harus peka. Gitu yang cewek suka..” dia menggodaku.


Akhirnya mobil yang ditunggu telah tiba. Kami hanya berjarak sekian meter dari mobil travel ke Bandung tersebut. Aku dengan sigap membantu memasukkan tas-tas dan koper ke dalam bagasi. Kernet dari travel sambil basa-basi bertanya, “Itu akangnya gak ikut, teh?”

“Iya nih, dia nya gak mau, kang. Padahal sudah ku ajak!” Dia kembali menggodaku. Aku hanya tersenyum seraya ber-heh!

Mobil travel telah berjalan, dia melambaikan tangan seraya tersenyum, “Ku tunggu di Bandung, yaa!”
Aku membalas senyumnya dengan takzim.

**

Selepas pertemuan itu, aku pulang. Kembali ke mess. Mulai kembali berfikir rasional. Dia nampaknya hanya menganggapku teman saja. Tidak lebih. Tidak bisa diajak kepada yang lebih serius. Dari jawabannya semisal, mencari yang gajinya dua digit, itu tak lebih adalah penolakan secara halus. Dia pasti faham maksud pertanyaan kiasanku, dan dia juga menjawab dengan jawaban metafor.
Aku yang saat itu memang hendak ingin menikah, sudah mengambil kesimpulan bulat, cari yang lain sahaja.

Takdir tidak ada yang tahu.
Sampai di Bandung, ternyata dia sakit. Sempat dirawat hingga dioperasi. Sedih sekali. Keinginan untuk jalan-jalan kesana kemari tak dapat dituruti. Singkat cerita, sebab sakit itu, dia merasa perlu menikah (cerita lengkap insyaa Allah akan pada tulisan khusus nanti).

Aku pun, karena memang hendak menikah, mengamalkan shalat Istikharah. Shalat minta petunjuk kepada Sang Maha Pencipta. Biasanya, kata Ustadz Khalid Basalamah yang ceramahnya aku tonton di Youtube, Allah akan memberikan kita pertanda dari doa yang kita gaungkan pada Istikharah tersebut.

Coba tebak, pertanda apa yang aku dapat? 
Ternyata aku harus menikah dengan dia, sang sahabatku itu. Setelah memantapkan hati, atas keyakinan yang tinggi karena ini memang jawaban dan petunjuk dari Allah, aku memberanikan diri lagi. Tanpa pertanyaan metafor, tanpa kalimat-kalimat kiasan. Selepas shalat Maghrib di pertengahan November 2022, aku mengajukan diri untuk menjadi calon suaminya. Dan tanpa banyak drama, jawaban dia dalam sambungan telepon tersebut hanya dua kata, “Iya, boleh!”

**

Singkat cerita, akhirnya kami benar-benar menikah. Aku sangat bahagia saat itu, selepas kalimat “Saya terima nikahnya dengan mahar yang tersebut”.

Janji itu benar-benar ditepati. Dia pernah bilang apabila aku hendak ke Bandung, dia akan balas mentraktirku makan. Dan ternyata, dia membalasnya lebih dari itu. Tak hanya makan, kami jalan-jalan keliling Kota Bandung dan sekitarnya, Lembang hingga ke Tangkuban Perahu. Kami juga menginap di satu kamar yang sama. Tidur berdua.
YAA WAJAR YAA KAN KAMI SUDAH JADI SUAMI ISTRI, HEHE!

**

Apa hubungan dengan foto di awal?
Begitulah takdir bekerja.
Mari sini, ku ingatkan kembali. Dua tahun lalu ketika ku tanya, dia berkata tidak akan pulang selama dua tahun. Nyatanya, dia bahkan pulang beberapa bulan setelah pertanyaan itu. Dia tidak hanya pulang, namun juga bersilaturahmi ke rumah orangtua ku. Kemudian tinggal di Tangerang, bersama sahabat yang kini telah menjadi suami.
Lebih dari itu, hingga akhirnya melakukan penelitian di Kota Batam. Yang sama sekali tidak terbayangkan sebelumnya. 

Kenapa demikian?
Satu bulan setelah menikah, ternyata aku dimutasi ke kota itu. Dari Tangerang ke Batam. Maka untuk mensiasatinya agar kami tidak LDR terlalu lama, maka dia mengambil topik penelitian di kota ini. 
Sekali mendayung, dua-tiga pulau terlampaui.

Selamat telah menyelesaikan studi S-2 nya yaa, sayang!
Dari sahabatmu, yang kini jadi suamimu! 
Apakah laki-laki dan perempuan bisa bersahabat? Atau mungkin mereka akan jatuh cinta. Kemudian, kalau ada di antara mereka yang saling jatuh cinta, bagaimanakah hubungan persahabatan mereka?
Itu adalah pertanyaan yang sering aku renungkan dalam diri. Terlebih ketika sudah mulai dekat dan bersahabat dengan si Doi.

***

Mari kita sedikit me-review cerita sebelumnya; Awal Mula Kenal Istri. Pertemuan pertama terjadi ketika menjadi panita Buka Puasa Bersama, kemudian beberapa hari setelahnya kami kembali bertemu sebab menjadi panitia di Pesantren Ramadhan. Dan kini adalah cerita tentang Pertemuan Ketiga.

Aku tidak terlalu ingat bagaimana detail mulanya. Yang jelas, kami hendak menonton film yang baru saja rilis di bioskop. Rembulan Tenggelam di Wajahmu. Film itu merupakan adaptasi dari  novel dengan judul yang sama, karya Bang Tere Liye.

Saat itu, di tahun 2019, kami sudah semester akhir di kampus. Maka, bebas saja mau main di hari apa, karena tidak ada kuliah lagi. Dan akhirnya, diputuskan di hari Jumat.
Oh yaa, aku belum menjelaskan siapa saja “Kami” yang dimaksud. Kami saat itu ada lima orang; Tiga laki-laki dan dua perempuan. Yang perempuan, sebut saja namanya Mbak dan Doi (yang kini jadi istri, hehe).

Kami para lelaki telah bersepakat untuk berkumpul di Masjid Cheng Hoo. Aku pernah membuat postingan tentang masjid ini (baca; Masjid Cheng Hoo). Sedangkan si Mbak dan si Doi, mereka datang dahulu ke mall untuk membeli tiket. Kemudian selepas kami shalat Jumat, menuju tempat makan. Jadi, makan siang dahulu, baru menonton film. Dan kami saat itu makan seblak di salah satu kafe di Jakabaring.
Ini fotonya. Oh yaa, baru ingat. Satu teman telat hadir. Jadi baru berempat saja makannya, hehe.


Satu hal yang aku masih ingat. Si Doi saat itu cukup histeris ketika ada kucing. Yaps, Doi takut kucing. Gumush sekali saat si Doi hendak menghindar dari kucing yang hendak mendekatinya.
Dan artinya, kami punya kesamaan. Sama-sama tidak suka kucing. Sudah ada kecocokan di awal! *Ge-er banget gue saat itu, wkkw.

Long story short, kami menonton film tersebut. Cukup kecewa dengan filmnya, karena tidak menyelesaikan cerita full seperti di buku. Hanya setengahnya saja. Di akhir film diberikan semacam iklan bahwa akan ada part dua nya. Namun sampai sekarang belum muncul juga lanjutan film Rembulan Tengelam di Wajahmu Part II. 😃


Formasi sudah full-team

Seusai menonton dan sedikit berkeliling di mall. Tibalah waktunya untuk pulang.
Dan aku sebagai orang Jawa yang secara default suka berbasa-basi. Tanpa sadar bilang seperti ini, “Ayoo maen ke rumahku dulu aja, baru setelah itu kalian pulang!”

Harapanku saat itu adalah mereka akan menjawab seperti ini, “Gak usah Doo. Udah kesorean, lain kali aja!”

Nyatanya, tidak demikian. Si Doi saat itu menjawab, “Waah, boleh juga. Iya yaa, kita belum pernah ke rumah kamu!”

Aku saat itu kebingungan, mencari-cari alasan agar mereka tidak jadi datang ke rumah, wkwk. Bukan tanpa alasan, kalau ada yang hendak bertamu, harusnya aku mempersiapkan dahulu. Jikalau mendadak, bisa jadi rumah tidak siap. Apa yang harus aku suguhkan kepada mereka. Aku juga saat itu belum bilang ke mamakku.
Jadi, aku mencari-cari alasan, “Eh, nanti saja. Ini rumahku sedang kebanjiran. Kan habis hujan deres. Biasanya air masuk ke rumah..”

Aku berusaha sekuat tenaga menolak mereka yang hendak datang ke rumah. Dan salah satu teman faham kalau aku hendak menolak mereka datang, tapi dengan cara yang halus. “Yaudah nanti aja kita ke rumah Dodo. Besok-besok bisa. Lagipula sebentar lagi Maghrib, baiknya kita pulang ke rumah masing-masing saja.”

Si Doi masih ngotot, “Kapan lagi ke rumah Dodo. Mumpung ada kesempatan. Besok-besok belum tentu bisaa..”

Si Doi masih tidak mau mengalah. Aku izin sebentar untuk menelpon mamakku, apakah boleh kawan-kawanku ini datang.
Hasilnya? Sudah bisa ditebak.
Mamakku kaget, beliau bilang seharusnya kalau ada teman yang hendak datang bilang dari awal, jangan mendadak. Bingung kita mempersiapkannya. Tetapi aku kembali beragumen ke Mamak, bahwa teman-temanku ngotot pengen datang ke rumah (padahal cuma si Doi yang ngotot, wkwkw). Dan akhirnya mamak mengizinkan.

Kami kemudian berjalan ke arah rumahku. Jaraknya sekira sembilan kilometer. Dan ketika kami dalam perjalanan, itu waktunya sudah sangat mepet dengan waktu azan Maghrib. Jadi kami terpencar. Ada yang shalat di masjid lain, sedangkan aku sudah sampai duluan di rumah. Jadi, shalat di Langgar yang ada di depan rumah.

Mamak sangat ramah menyambut kedatangan mereka, terutama si Doi dan si Mbak. Mereka cepat akrab dengan Mamak. Beliau asyik ngobrol dengan dua kawan perempuanku itu. Gak tau deh apa yang ada di pikiran Mamak saat itu. Sebab aku jarang sekali membawa teman perempuan ke rumah (selain itu juga, aku memang punya teman perempuan yang sedikiiiiit sekali, wkwkw).

Oh yaa, jadi apa yang aku suguhkan kepada mereka?
Setelah shalat Maghrib aku bergegas ke depan gang, beli Model dan Tekwan di Mang Sidik. Kamu tahu kan? Model dan take one Tekwan adalah makanan khas Palembang. Bahannya mirip seperti pempek, terbuat dari campuran tepung sagu, gandum, dan daging ikan giling. Namun dia berkuah segar yang berasal dari kaldu udang.

Model

Tekwan

Dan di kemudian hari, aku mengetahui bahwa si Doi cukup terkesima atas apa yang aku lakukan. Namun aku katakan, itu hal yang biasa. Bukankan bergegas menyediakan makanan bagi tamu adalah standar minimum bagi seorang muslim?
Sama halnya dengan ketika orang terkesima ada orang yang shalat berjama'ah di masjid di awal waktu. Padahal, itu standar minimum kita. Jadi, biasa aja. Gak ada yang spesial, hehe.

Balik ke cerita di rumahku. Kawan-kawanku akhirnya pulang menjelang pukul sembilan malam. Rencana awal adalah, setelah shalat Isya langsung pulang. Tapi, keasyikan ngobrol, jadi lupa waktu. Hahaha.

Oh yaa, si Doi juga saat itu bertanya, "Doo, katanya rumahmu banjir? Kok ini nggak?"
"Iya, biasanya saat hujan deras, air suka masuk. Alhamdulillah hari ini nggak," aku menjelaskan keadaan sebenarnya. Aku tidak berbohong.

Setelah pulang ke rumah masing-masing, obrolan kami berlanjut di grup WhatsApp yang sejak pagi telah dibuat. Tujuan awalnya sih hanya sekedar untuk kirim-kirim foto kita tadi sejak di tempat seblak hingga malam tadi.
Kami merasa diskusi kami nyambung satu sama lain, dan sering berdiskusi di grup tersebut. Ntah membahas perkembangan politik kampus, perseteruan elit politik nasional dan global, hingga hanya mengirimkan meme retjeh.
Dan kamu tahu apa nama grupnya? Simpel sih; Nasabah BSM. Sebab kami semua adalah nasabah dari bank tersebut, wkwwk.
Fyi, di kemudian hari nama grupnya diubah menjadi Nasabah BSI, karena BSM telah merger dengan BNIS dan BRIS menjadi BSI. :D

Jadi, inti dari cerita ini adalah apa? Kamu masih bingung?
Apakah terjawab pertanyaan kita di paragraf pertama?

Bersambung..


Sepuluh hari lagi insyaa Allah,
Akhirnya akan jumpa doi
yang perutnya udah mulai membulat 😁
Halo semuanya, para pembaca setia blog ini. Apakah kalian merindukan tulisanku, hehe.
Alhamdulillah akhirnya bisa posting lagi setelah begitu banyak ujian yang dihadapi. Terakhir posting tanggal 19 Februari, dan sekarang 20 Mei. Artinya, sudah tiga bulan tidak ada postingan.

Dan kamu tahu aku sekarang berada di mana?
Jika kamu pembaca setia blogku, pasti kamu menjawab Tangerang, atau mungkin Jakarta, tapi mungkin juga pulang ke Palembang.
Tidak, kawan. Jawaban kamu semua salah. Kini aku berada di…. Batam. Iya, Batam. Random bet dah idup gua!
Semoga lain waktu bisa cerita mengenai ini.

Yaa, beberapa bulan belakangan banyak terjadi hal yang tidak terduga. Di luar rencana, tidak sesuai prediksi BMKG!
Makanya sibuk banget untuk ngurusin ini dan itu. Harus banyak beradaptasi dan segala tetek bengeknya. Dan hari ini, setelah azzam yang kuat untuk menulis, akhirnya kesampaian juga. Semoga bisa nulis lagi setidaknya setiap pekan, bukan jadi wacana doang, ehehe.
 
Mukaddimah telah selesai. Mari masuk ke inti cerita.
Ini adalah cerita bagaimana aku mengenal istriku, yang telah aku nikahi lebih dari tiga bulan yang lalu. Namanya Novi. 
 
Awalnya, kami memang satu kampus. Beda fakultas, namun circle pertemanan kami beririsan. Karena kami sama-sama anggota organisasi kampus dengan “aliran” yang sama. Kami beberapa kali berada di grup WhatsApp yang sama. Jadi hanya saling tahu saja. Tanpa pernah bertegur sapa. “Ooh, si Anu, anak Fakultas Teknik,” atau “Ada anak Hukum yang cerdas tuh, cantik pula. Novi namanya!”
 
Suatu hari, sahabatnya Novi pernah bercerita, “Aku punya teman, anak Teknik. Dia anaknya seru. Aku menjadi seperti diri sendiri kalo cerita sama mereka, rombongan anak Teknik itu.”
 
“Lha kok bisa, Mbak?” Novi memanggil sahabatnya dengan sebutan Mbak, “Memangnya berbeda kalau cerita dengan kita?”
 
“Yaa, beda. Gak tau aku yaa. Pokoknya kalau cerita ke sesama cewek itu gak seseru cerita ke temen-temen yang cowok. Karena mereka punya perspektif berbeda dengan kita. Kapan-kapan aku kenalin ke kamu lah yaa!” begitu si Mbak menjelaskan.
 
Novi senang-senang saja saat itu. Di mengira si Mbak sudah punya gebetan (yang orang itu adalah, aku. Padahal mah, kagak wkwk).
 
Singkat cerita, di suatu hari di bulan Ramadhan tahun 2019.
Aku, Novi dan si Mbak merupakan anggota organisasi dengan “aliran” yang sama, maka kami diminta menjadi panitia buka puasa bersama. Bahasa kerennya; Ifthar Jama’i.
 
Acara tersebut diadakan di ballroom hotel yang cukup megah di Palembang, tepatnya tanggal 13 Mei. Buka puasa bersama ini menghadirkan peserta se-kota Palembang. Tamu undangan pun cukup bergengsi. Seingatku, yang hadir meliputi Angota DPR RI, DPRD Provinsi Sumatera Selatan dan DPRD Kota dan Kabupaten se-Sumatera Selatan. Tapi, gak semua anggota dewan yaa. Hanya anggota dewan dari “aliran” kami saja. Hehehe.
 
Di suatu sore, ketika sedang sok sibuk menjadi panita, kalo gak salah waktu itu sedang bawa-bawain piring, ada seorang perempuan yang menyapa dengan sangat ramah, “Dodo!”
Namun, bukannya balik menyapa, aku hanya tersenyum bingung karena disapa perempuan (kami menyebutnya Akhwat) yang tidak aku kenal. “Jarang-jarang loh ada akhwat yang menyapa,” pikirku saat itu. Ehehe..
 
Coba tebak, siapa akhwat yang tidak ku kenal yang menyapa saat itu?
Yaps, jawabannya Novi! 😁
Novi merasa tidak asing dengan wajah dan namaku, karena sering diceritakan oleh si Mbak, makanya Novi hendak memastikan. Kayaknya sih, Novi saat itu jadi bete karena responku yang tidak sesuai harapan. Maafin aku saat itu yaa, sayang! Hehehe.
 
Oh yaa, ini foto acara tersebut. Fotonya aku upload di undangan pernikahan kami di Instagram.
Untuk mendapat fotonya penuh perjuangan sih.
 

Awalnya aku mencari ke Instagram organisasi “aliran” kami yang tingkat kota dan provinsi. Aku scroll sampai ke tahun 2019. Scroll nya satu-satu melihat postingan lawasnya. Tidak ketemu. Dapatnya hanya satu video. Tidak ada fotonya. Yakali mau screenshot dari video, wkwk.
 
Kemudian, aku juga berusaha untuk menghubungi beberapa teman yang memang menjadi tim humas dan dokumentasi di organisasi tersebut. Aku bertanya meminta foto-foto Ifthar Jama’i tahun 2019 itu. Mereka semua kompak menjawab, tidak punya lagi.
 
Dan saat hampir menyerah, teringat dengan salah satu yang hadir. Anggota DPR RI Dapil Sumsel 1 dari “aliran” kami, aku scroll akun Facebook-nya ke bawah dengan sabar, sedikit demi sedikit, hingga tiba ke postingan tahun 2019.
Jebret!
Akhirnya dapat fotonya, walaupun cuma satu. Senangnya bukan main saat itu, kwwkk.
 
Skip. Skip. Skip..
Beberapa hari setelah itu, tanggal 27 Mei 2019, ada acara Pesantren Ramadhan di salah satu SD Islam di Palembang. Si Mbak adalah kepala sekolahnya. Maka, dia meminta bantuan teman-temannya untuk menjadi panitia acara tersebut. Acara Pesantren Ramadhan ini, ditujukan untuk anak-anak yang tinggal di sekitar sekolah tersebut. Diisi dengan tausiyah, perlombaan dan ada acara mendongeng.
 
Saat itu, ternyata Novi juga diminta menjadi panitia. Kami bertemu lagi untuk kedua kali. Tapi saat itu, aku sudah mengenalnya. Minimal, tahu siapa namanya. Hehehe.
 
Dan saat Novi mendongeng, Masyaa Allah. Bener-bener istri-able. Bener-bener bunda-able. Mengayomi anak-anak yang mendengarkan dongeng, mereka menurut, diam, menyimak kata demi kata yang keluar dari mulut Novi. Seolah gak mau ketinggalan hatta satu kata pun. Ekspresinya juga sangat-sangat luar biasa. Intinya, aku sangat terpana saat itu.
“Novi harus jadi bini gue nih!”

 
Dan selepas acara itu, kami mulai saling follow Instagram dan saling save kontak WhatsApp. Dan akhirnya kami berteman baik. Menjadi sahabat. Kalau kamu ingat, aku pernah cerita tentang kelompok pertemanan kami yang bernama Nasabah BSM, salah satunya adalah Novi. Hehehe.

Ditulis dari Rusun lantai empat, pukul setengah sebelas malam,
dalam kerinduan kepada istri tercinta yang teramat dalam,
yang tengah berada di Tanah Pasundan,
dan suaminya berada di Kota Batam.


Bersambung..


Postingan Lama Beranda

ABOUT AUTHOR

Kang Mas Joe adalah seorang yang berpengalaman dalam pahit dan getirnya kehidupan, walaupun nyatanya tidak terlalu pahit. Mencoba berbagi tulisan melalui blog, semoga ada hikmah yang bisa diambil. Apabila ada kritik, saran, nasihat dan mau kerjasama. Silahkan DM melalui Instagram dan Twitter @KanggMas_Joe. Terimakasih!

POPULAR POSTS

  • Pencitraan Jilid Dua; Buku yang Aku Baca di Tahun 2020
      Beberapa hari ke belakang, rumahku sedang direnovasi. Maka buku-buku yang ada di rumah sedang tidak ada di rak buku seperti biasa. Begini ...
  • Balonku Ada Lima
    Jangan terkejut, ini bukan jimat, mantra, doa atau sebagainya!  Untuk kamu yang sudah jago membaca Al-Quran sejak kecil, aku yakin kamu past...
  • Masjid Cheng Hoo
    Masjid Muhammad Cheng Hoo, adalah salah satu masjid yang cukup terkenal di Palembang. Sering dijadikan sebagai tempat wisata religi. Menurut...
  • Menjadi Pacar Sewaan
    Hari ini adalah hari Ahad, pukul sepuluh pagi. Aku sedang duduk bersantai di rumah, sedang menatap layar laptop untuk melakukan blog walking...
  • 3 Bloggers yang Rajin BW
    Seperti biasa, di setiap penghujung bulan, Mbak Eno yang baik hatinya kembali membuat challange. Ini adalah event ketiga dari challange- nya...

Categories

  • Bisnis
  • Cerita
  • Opini
  • Perjalanan
  • Pernikahan
  • Sajak
  • Tutorial

Copyright © 2021 Kangg Mas Joe. Created by OddThemes